18 November 2008

Refleksi Ibadah Haji




Perjalanan haji merupakan simbol perjalanan panjang hidup seorang hamba menuju Allah SWT, di dalamnya terdapat banyak simbol-simbol tantang makna kehidupan sebagai hamba Allah.
Setiap tamu Allah diminta untuk membiasakan dan selalu mengucapkan kalimat talbiyah. Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik, La Shareek Laka, Labbaik. Innal Hamdah, Wan Nematah, Laka wal Mulk, La Shareek Laka Labbaik
“Aku datang memenuhi panggilan Mu Ya Allah , aku datang memenuhi panggilan Mu , aku datang memenuhi panggilan Mu tidak ada sekutu bagiMu, aku datang memenuhi panggilan Mu ”.

Ketika kalimat ini diucapkan seorang tamu Allah, sebenarnya ia sedang mengingatkan dirinya akan niat hidupnya di dunia. Hidup ini harus selalu dilandasi niat memenuhi panggilan Ilahi Rabbi, sebagaimana dalam melaksanakan ibadah haji niat kita harus dilandasi motivasi memenuhi panggilan Allah semata, bukan mengejar gelar haji, atau berdagang apalagi bertamasya. Begitu juga hendaknya niat hidup kita di dunia hanya demi menggapai ridho Ilahi. Bukan untuk mengejar kekayaan, pangkat, kekuasaan, atau popularitas.
Kalimat talbiyah memastikan kelurusan niat dalam menapaki segala langkah hidup di dunia. Inilah makna firman Allah SWT :
“Maka bersegeralah menuju Allah.” (QS Adz-dzaariyaat ayat 50)

( Baca Selengkapnya )

11 November 2008

Sa'ad bin Abi Waqqos rodliallahu 'anhu


Di zaman Rasulullah tersebutlah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bernama Saad bin Abi Waqqash. Suatu hari pemuda itu berkata, "Pada suatu malam, di tahun ini, saya bermimpi seolah-olah tenggelam di dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ketika saya terbenam di dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada cahaya bulan yang menerangiku. Saya kemudian mengikuti arah cahaya itu dan saya dapati di sana ada sekelompok manusia, di antara mereka terdapat Zaid bin Haritsash, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Saya bertanya, "Sejak kapan kalian ada di sini?" Mereka menjawab, "Satu jam."

Manakala siang telah muncul, saya mendengar suara dakwah Muhammad saw. kepada Islam. Saya meyakini bahwa saya sekarang berada di dalam kegelapan dan dakwah Muhammad saw. adalah cahaya itu. Maka, saya pun mendatangi Muhammad dan aku dapati orang-orang yang kujumpai dalam mimpi, ada di samping beliau. Maka, aku pun masuk Islam.

Tatkala ibu Sa'ad mengetahui hal ini, dia mogok makan dan minum, padahal Sa'ad sangat berbakti kepadanya sehinga dia merayunya setiap waktu mengharapkannya untuk mau makan walau hanya sedikit, tapi ibunya menolak. Manakala Sa'ad melihat ibunya tetap teguh berpendirian, dia berkata kepadanya, "Wahai ibu! Sesungguhnya saya sangat cinta kepadamu, namun saya lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seadainya engkau mempunyai seratus nyawa lalu keluar dari dirimu satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini demi apapun juga."

( Baca Selengkapnya )

Keutamaan Mengingat Mati



Semua orang takut mati, tetapi ada yang berlebihan sekali, ada pula yang takutnya itu sedikit saja, bahkan ada yang tak takut sama sekali, malah berani dan ingin mati. Ketakutan terhadap mati adalah karena dua hal :-

Karena kurang atau tidak adanya pengetahuan tentang mati, keadaan mati dan keadaan selepas mati adalah gelap. Semua orang takut menempuh tempat yang gelap dan tidak diketahui.
Karena doa dan kesalahan yang sudah bertumpuk dan tidak bertaubat, sehingga mendengar kata mati sudah terbayang azab dan siksa yang diperolehinya, akibat dosa dan kesalahan tadi.
Agama Islam melarang orang ingin cepat mati, agar dapat hidup melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya. Dan kalau ingin hidup lama adalah dengan tujuan agar dapat semakin banyak melakukan kebaikan, bukan pula untuk dapat lebih banyak menumpuk kenikmatan harta dan kekayaan serta keturunan.

Ada beberapa petunjuk Rasullullah s.a.w. untuk selalu zikrul maut (ingat akan mati) ini, antara lain :-

1. Perintah memperbanyak mengingati mati :
"Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan dan menjadikannya segala macam kelazatan (kematian)." ( Riwayat At-Turmudzi )

2. Kematian sebagai penasihat pada diri sendiri :
"Cukuplah kematian itu sebagai penasihat." ( Riwayat Ath-Thabrani dan Baihaqy )

3. Orang yang berilmu ialah orang yang banyak mengingati mati :
"Secerdik-cerdik manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya uantuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia dan akhirat." ( Riwayat Ibnu Majah dan Abiddunya )

( Baca Selengkapnya )

08 November 2008

Hafizh Qur'an yang Buta dapat Haji Gratis



Republik, Sabtu, 08 November 2008 pukul 11:14:00

Muhammad Hafidz (20) tetap optimistis bakal menjadi haji mabrur usai menunaikan ibadah haji 1429 H meski menyadari dirinya hanya seorang tunanetra dan pasti menghadapi tantangan yang lebih berat.

"Yang penting ada yang menuntun saya," kata Hafidz yang sudah buta sejak lahir merujuk pada ibunya Halimah (55) yang juga berhaji bersamanya dan diharapkan bersedia menuntunnya.

Jemaah calon haji dari Kloter I JKG ini bersama ibunya memperoleh hadiah menunaikan ibadah haji dari seorang Hamba Allah yang terkagum-kagum padanya dan ibunya yang hafal Al Quran (hafidz Qur`an).

"Saya menghafalkan Qur`an dengan mendengarkan kaset," kata Hafidz yang kegiatan sehari-harinya hanya mengaji dan tidak pernah bersekolah itu.

Hafidz yang kala itu memakai baju koko putih, celana putih dan peci serta duduk di kursi roda itu mengaku juga buta huruf latin, bahkan huruf Braille pun masih baru mulai belajar dan menghapal huruf bertitik-titik dari A sampai Z.

Bungsu dari tujuh bersaudara yang hidup bersahaja di kawasan Kampung Ambon, Rawamangun itu mengaku bahagia dan berterima kasih pada seorang Hamba Allah yang baik hati membiayai dia dan ibunya berangkat ke tanah suci.

"Saya sangat bahagia, meski saya tak bisa melihat saya juga ingin berhaji," katanya di depan ibunya yang juga mengenakan pakaian putih-putih dan tampak terharu.


05 November 2008

Jalan Golongan yang Selamat



Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Ruum: 31-32)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. (Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, sedang setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka).”HR. Nasa’i dan At-Tirmi-dzi, ia berkata hadits hasan shahih).

Dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tem-patnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggolongkannya hadits hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan:
“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 5219)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya ter-dapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau mem-baca firman Allah, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153) (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)

(  Baca Selengkapnya )

Islam Sebagai Penyeimbang



Akhir-akhir ini seperti sudah menjadi keharusan opini di berbagai media massa, bahwa di zaman globalisasi, corak keberislaman yang ‘baik’ adalah menjadi Muslim yang moderat, artinya bukan menjadi Muslim yang liberal atau yang radikal (fundamental). Istilah “moderat” ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh berbagai kalangan, baik cendekiawan, kepala Negara/pemerintahan Muslim, atau tokoh-tokoh agama. Apakah sebenarnya makna “Islam moderat”, yang kadang-kadang disamakan dengan istilah “ummatan wasatha”?

Selama ummat ini masih menempuh shiratal mustaqim, jalan yang lurus, selama itu pula mereka akan tetap menjadi ummat jalan tengah.” Dengan posisi sebagai ummatan wasathan itu, maka umat Islam akan menjadi saksi atas umat yang lain. Kata Hamka: “Umat Muhammad menjadi ummat tengah dan menjadi saksi untuk ummat yang lain, dan Nabi Muhammad saw menjadi saksi pula atas ummatnya itu, adakah mereka jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik?” Itulah makna “ummatan wasathan”, umat pertengahan, umat yang adil, umat yang menjadi saksi atas ummat yang lain, dengan menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan pandangan dan sikap ‘wasatha’, setiap Muslim dilarang melakukan tindakan ‘tatharruf’ atau ekstrim dalam menjalankan ajaran agama. Umat Islam merupakan umat penyeimbang dari umat umat-umat agama lain. Umat Islam mampu menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak terlalu materialis duniawi, seperti kaum Yahudi atau meninggalkan kehidupan dunia seperti berbagai pemeluk agama lainnya. Umat Islam menyeimbangkan antara aspek jasmani dan ruhani. Itulah makna umat wasathan, umat pertengahan.

( Baca Selengkapnya )

26 Oktober 2008

Imam Ahmad: Pokok-pokok As Sunnah


Akhir-akhir ini karena gencarnya dakwah yang dilakukan oleh Ahlul bi’dah dan makar yang dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam, mengakibatkan umat Islam banyak yang tidak mengetahui pokok-pokok agama mereka. Oleh sebab itu kami merasa terpanggil untuk menjelaskan aqidah Islam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) kepada masyarakat luas agar mereka bisa mempelajari dan mengamalkannya.
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata :"Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah :
- Berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan perdebatan dalam masalah agama
- Sunnah menafsirkan Al Qur’an dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al Qur’an, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat pemisalan
– pemisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh dapat dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.

Setan: Musuh orang Beriman



Dalam Al Qur'an, setan adalah nama umum untuk seluruh makhluk yang berusaha keras menyesatkan manusia hingga Hari Pembalasan nanti. Iblis adalah setan pertama yang membangkang kepada Allah ketika Dia menciptakan Adam. Allah telah memperingatkan manusia agar tidak tergoda oleh setan, sebagai mana dia telah berhasil memperdayakan kedua orang tua manusia yang pertama, Adam dan Hawa 'alaihimas salam.


Allah SWT berfirman: ”Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tak beriman. (QS. Al-A'raf: 27)

Oleh karena itulah dengan rahmat-Nya, Allah memerintahkan manusia untuk menjadikan setan sebagai musuhnya, karena memang hakikatnya setan adalah musuh nyata manusia. Dia berfirman, yang artinya, Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Fathir: 6). Sedangkan tindakan seseorang terhadap musuhnya telah jelas, yaitu berusaha dengan segenap kemampuan agar segala keburukan menimpa musuhnya dan segala kebaikan terlepas darinya.

Imam Ibnul Qayim rahimahullah mengomentari ayat di atas dengan perkataan, Perintah Allah untuk menjadikan setan sebagai musuh ini sebagai peringatan, agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawan setan. Sehingga setan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai

Memang setan merupakan musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai. Bahkan selalu menyertai dan menghadang manusia di atas setiap jalan kebaikan. Karena memang pada setiap diri manusia itu ada setan dari kalangan jin yang berusaha menyesatkannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: „Tidaklah seorangpun di antara kamu kecuali disertakan padanya jin yang selalu menyertainya“. Para sahabat bertanya, "Kepada Anda juga wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Juga kepada saya, tetapi Allah membantuku melawannya, sehingga dia masuk Islam. Maka dia tidak memerintahkanku kecuali dengan kebaikan.

( Baca Selengkapnya )

Membangun Generasi Robbani



Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang. Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya.

Jika kita perhatikan kondisi pada akhir-akhir ini, jelas terlihat adanya gejala demoralisasi di masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi kita setiap hari di surat kabar dan televisi. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba menduduki peringkat tertinggi yang terjadi pada generasi muda. Selain itu arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, seperti mode/gaya hidup orang barat, telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan kebanggaan.

Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita. Apakah selama ini kita menjaga diri, keluarga dan masyarakat di sekitar kita agar tidak terkena dampak demoralisasi. Ataukah selama ini kita lupa dan melalaikannya. Padahal Allah dengan jelas memberikan perintah kepada kita dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”. (At-Tahrim: 6).

Kita harus mewaspadai gejala ini, sebab jika tidak, akan menimbulkan preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Kita bisa membayangkan seperti apa jadinya generasi yang akan datang jika generasi sekarang seperti ini. Dan inilah yang Allah gambarkan sebagai generasi yang buruk, suatu generasi yang akan membawa pada kehancuran dan kesesatan. Allah berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (Maryam: 56). Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang buruk yaitu adla’ush-shalah (menyia-nyiakan shalat) dan ‘wattaba’usy-syahwat (memperturutkan hawa nafsu).

( Baca Selengkapnya )

18 Oktober 2008

Sejarah Perang Badar



Perang Badar yang meletus antar kaum muslimin dan orang-orang musyrik dipicu oleh beberapa sebab, di antaranya adalah:

1. Pengusiran Kaum Muslimin dari Kota Makkah Serta Perampasan Harta Benda Mereka
2. Penindasan Terhadap Umat Islam Hingga Kota Madinah
3. Memberi Pelajaran Kepada Quraisy dan Mengembalikan Harta Benda Milik Umat Islam

Pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. berjumlah 313 orang. Bersama mereka terdapat 2 ekor kuda, satu milik Zubair bin ‘Awwam ra dan seekor lainnya milik Miqdad bin ‘Amr ra, serta 70 unta yang mereka tunggangi secara bergantian. Rasulullah saw. mempercayakan panji berwarna putih kepada Mush’ab bin ‘Umair ra. Sementara di hadapan beliau sendiri terdapat dua buah bendera. Di sebelah kanan beliau terdapat Zubair bin ‘Awwam ra dan di sebelah kiri terdapat Miqdad bin Al-Aswad ra, serta di belakangnya terdapat Qais bin Abi Sha’sha’ah ra.

Pasukan musyrikin berhasil memobilisasi 950 orang yang kebanyakan mereka berasal dari Quraisy. Bersama mereka terdapat 200 ekor kuda dan unta dalam jumlah yang sangat banyak sekali untuk mereka tunggangi sekaligus membawa perbekalan dan makanan mereka selama di perjalanan. Orang-orang musyrikin tidak memiliki seorang pemimpin umum. Hanya saja di antara mereka terdapat dua orang terpandang, yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal beserta sekian orang pemuka Quraisy lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa pertempuran antara pasukan muslimin dan musyrikin akan menjadi sebuah pertempuran yang sangat dahsyat. Karena orang-orang Quraiys dengan kesombongannya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membinasakan Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya sehingga hukum paganisme menjadi satu-satunya aturan hukum yang berlaku.

Namun demikian, Allah swt. menginginkan agar kekuatan kaum muslimin, yang telah dibangun di Kota Madinah dan dilatih sedemikian rupa sehingga berhasil melahirkan pasukan-pasukan yang kokoh, mampu mengepakkan debu di medan perang, setelah selama lima belas tahun berada di bawah tekanan penindasan dan kelaliman serta membela akidah dan dakwah yang mereka bawa. Oleh karenanya, terlihat kemudian bahwa pertemuan antara keduanya benar-benar akan menyisakan kepahitan dan keperihan yang teramat sangat. Namun di balik semua ini, Allah swt. ingin menghancurkan kekuatan pendukung kebatilan dan meninggikan kebenaran dan para pembelanya

( Baca Selengkapnya )


13 Oktober 2008

Me-realisasi-kan kalimat Tauhid





Tauhid merupakan kewajiban pertama yang Allah wajibkan kepada umat manusia, dan sebaliknya larangan pertama yang Allah larang kepada mereka adalah syirik. Hal ini sebagaimana firman Allah :

يَأيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِه مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan sebab itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 21-22)

Allah tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan paling wajibnya perkara dari perkara-perkara yang paling wajib, pasti mempunyai berbagai keutamaan.


Orang yang benar-benar merealisasikan tauhid akan masuk jannah (surga) tanpa hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Muhammad yang masuk jannah tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah saw bersabda :


هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَكْتَوُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ( رواه الترمذي )

“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (H.R. At Tirmidzi)

Orang yang tauhidnya benar dijanjikan akan masuk jannah, sebagaimana sabda Rasulullah saw:


مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِه شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ( رواه مسلم )

“Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu (apapun), niscaya dia akan masuk jannah.” (H.R. Muslim)Adapun masuknya orang yang tidak berbuat syirik ke dalam jannah maka itu hal yang pasti. Akan tetapi jika dia bukan pelaku dosa besar yang terus dilakukan sampai meninggal dunia maka dia akan langsung masuk jannah. Sedangkan jika dia pelaku dosa besar hingga akhir hayatnya dan belum bertaubat maka yang demikian di bawah kehendak Allah . Jika Allah mengampuni, maka akan masuk jannah secara langsung tanpa diadzab. Dan jika tidak diampuni, maka akan diadzab terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari naar (neraka) dan dimasukkan ke dalam jannah (surga). (Fathul Majid hal. 84).


05 Oktober 2008

Monorel Arafah Mina Beroperasi Musim Haji 1430 H



Arab Saudi selalu menjadi tujuan umat Islam setiap tahunnya. Untuk meningkatkan pelayanan pada umat, Kerajaan Arab Saudi membuat mega proyek salah satunya monorel Arafah-Mina.

Deputi Kementerian Urusan Tatanan Kota Arab Saudi Habib Zainal Abidin, proyek baru itu ditargetkan dapat beroperasi pada musim haji 1430 H atau 2009.

"Proyek pembangunan kereta monorel Arafah-Mina akan dimulai dua minggu ke depan. Dan akan selesai selama 10 bulan," katanya seperti dilansir media setempat, Senin (5/10/2008).

Monorel yang akan dibangun itu direncanakan memiliki ketinggian 8 meter hingga 10 meter. Dengan begitu, kelancaran arus lalu lintas dan pejalan kaki yang 'penuh' di Mina tidak akan terganggu.

"Monorail itu akan mengangkut 500 ribu jamaah haji di Arafah, Mina, dan Muzdalifah dan sekitar 25 ribu bus angkutan yang dilarang masuk kawasan Mina dengan adanya kereta monorel akan berhenti," ujar Zainal Abidin.

Proyek ini, lanjut Zainal Abidin akan dibagi tiga tahap. Jalur Arafah, Muzdalifah, dan Mina melalui road dua menyambung ke Jembatan King Abdul Aziz. Dan tahap kedua, 4 jalur akan melayani Arafah, Muzdalifah dan Mina. Sementara itu tahap ketiga, akan menyambungkan antara Arafah, Mina dengan Masjidil Haram.

Sementara Menteri Haji Kerajaan Arab Saudi, Fuad Al Farisi mengatakan, proyek kereta monorel segera dilaksanakan di Arafah, Mina, dan nantinya akan dibangun jalur kereta api yang menyambungkan antara kota Makkah, Madinah dan Jeddah sebagai tahapan proyek berikutnya.(ken/ken)

03 Oktober 2008

Jamarat Mina Tampung 300 Ribu Jamaah Perjam


Meski suasana hari raya Idul Fitri 1429 H masih terasa, perhatian Kerajaan Arab Saudi mulai memfokuskan persiapan pelayanan dhuyufurrahman musim haji tahun 1429 H yang waktunya tinggal sebulan lagi. Pelontaran Jamarat Mina dikebut penyelesaiannya untuk menampung 300 ribu jamaah haji perjam.

Sekjen Pengembangan Kota Makkah Al Mukarramah, Madinah Al Munawarah dan Masyair Muqaddasah (Arafah Mina ), DR Habib Zainal Abidin mengatakan, proses pembangunan pelontaran jamarat sedang dikebut.

“Daya tampung pelontaran jamarat tahun ini mencapai 300 ribu jamaah haji perjam sebagai tambahan daya tampung 60 ribu dari musim haji sebelumnya, saat ini tengah penyempurnaan pembangunan lantai tiga," ujar Zainal seperti dilansir harian Al Madinah, Jum’at (3/10/2008)

Sesuai perintah Raja Abdullah bin Abdul Aziz kaitannya dengan penyelesaian proyek pelontaran jamarat, diharapkan lokasi Kantor Gubernuran Mekah yang berlokasi di Mina yang menjadi jalur akses menuju lantai empat pelontaran supaya ditertibkan dan dibongkar.

“Kantor Gubernuran Mekah terletak di Rabwah Khadarim di Mina saat ini tengah ditertibkan dan dibongkar untuk menyambung jalur akses menuju lantai empat pelontaran jamarat,” tegas Habib Zainal Abidin.

Penyelesaian pembangunan untuk lantai empat pelontaran jamarat belum dapat diselesaikan sampai musim haji tahun 1429 H ini. “Penyelesaian lantai empat ditangguhkan sampai musim haji tahun berikutnya (1430 H),” pungkasnya.(Detik: anw/anw)

Puasa di bulan Syawwal




Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori : 6502).

Puasa seperti setahun penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawirohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.

Dilakukan setelah Iedul Fithri

Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fthri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallamyang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut : hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha)”. (Muttafaq ‘alaih)

Apakah harus berurutan ?

Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328 : “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”.

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah : 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkanselang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan puasa qodho’

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojabrohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallamWallohu a’lam bish showab.[Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal]

30 September 2008

Sholat 'Iedul Fitri 1429 H


Insya Allah hari Rabu, tanggal 1 Oktober 2008, DKM Bachir Ahmad akan menyelenggarakan Sholat 'Iedul Fitri 1429 H. Sholat akan mengambil tempat di halaman Masjid dan dimulai Insya Allah pada pukul 06 30 WIB.

Adapun akan bertindak sebagai Khatib dan Imam adalah Imam Masjid Bachir Ahmad, Ustadz Ngatrichan.

Bagi kaum muslimin yang berniat bergabung dengan kami dalam mendirikan sholat 'Ied tersebut, kami harapkan dapat hadir paling lambat pada pukul 06 25 WIB.

Dalam kesempatan ini pula kami DKM Masjid Bachir Ahmad mengucapkan "Taqobalallohu Minna wa Minkum" Semoga Allah SWT menerima semua amal ibadah dan amal sholih kita. Aamiin.

29 September 2008

Rukyat 1 Syawwal 1429 H

Tim Rukyat Masjid Jami' Bachir Ahmad pada tanggal 29 Ramadhan 1429 H atau 29 September 2008 M, telah melakukan upaya pemantauan Ru'yatul Hilal di sekitar Bandara Soekarno Hatta, tepatnya di depan Puskesmas Benda, mulai dari pukul 17 20 - 17 50. Akan tetapi mulai pukul 17 30 pandangan mata kami ke arah matahari terhalang kabut/awan yang sangat tebal.

Pemerintah, melalui Departemen Agama, melakukan pemantauan pada 7 titik hilalyang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil sementara sidang isbat yang berlangsung pada Senin (29/9) di Departemen Agama, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, dari semua lokasi yang dipantau tidak terlihat adanya hilal atau bulan. 

Karena itu hitungan bulan Ramadan 1429 H akan digenapkan menjadi 30 hari, sehingga hari raya 'Idul Fitri akan jatuh pada 1 Oktober 2008.

Seperti di NTT, pengamat di sana tidak bisa melihat hilal meski cuaca sangat bagus. Hingga matahari terbenam, alat teropong bulan tidak bisa melihat posisi hilal.

Sementara di daerah Aceh di Lok Ngah, yang cuacanya tertutup mendung tebal, peneropong tidak bisa melihat hilal. Begitu juga 5 daerah yang lain, seperti Bosscha Lembang Bandung, Masjid Agung Semarang, Condrodipo Gresik, Tanjung Kodok Lamongan, dan Mal GTC Tanjung Bunga Makassar.

Selain disebabkan cuaca buruk, di beberapa lokasi hilal tidak bisa dilihat karena posisi hilal sangat dekat dengan matahari. Hal ini terjadi di Bosscha Lembang Bandung, karena posisi bulan di atas matahari sehingga bulan masih tertutup cahaya matahari. Demikian juga di daerah Tanjung Kodok Lamongan.

19 September 2008

Menghidupkan Malam Ramadhan




 Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun. Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Jama'ah ) Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban ) Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.

Syiarkan Lailatul Qodar




Pada suatu hari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bercerita kepada para sahabatnya tentang pejuang dari Bani Israil yang bernama Sam’un. Selama 1000 bulan atau delapan puluh tiga tahun, ia tidak pernah meletakkan senjata atau beristirahat dari perang Fii Sabilillah. Ia hanya berperang dan berperang demi menegakkan agama Allah tanpa mengenal rasa lelah. 

Para sahabat ketika mendengar cerita tersebut, mereka merasa kecil hati dan merasa iri dengan amal ibadah dan perjuangan orang tersebut. Mereka ingin melakukan amal ibadah dan perjuangan yang sedemikian rupa, tapi bagaimana mungkin untuk melakukannya sedang umur kehidupan mereka jarang yang mencapai usia lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun. Di dalam hadist disebutkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam: “Usia ummatku sekitar enam puluh atau tujuh puluh tahun”. karena itulah mereka bersedih dan kecil hati.
 
Ketika para sahabat sedang berfikir dan merenungkan tentang hal itu, dimana mereka merasa kecil hati karena tidak mungkin berbuat hal yang telah diperbuat oleh orang Bani Israil yang telah disebutkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, maka datanglah malaikat Jibril kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam membawa wahyu dan kabar kembira kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. 

Berkata malaikat Jibril Alaihis Salaam: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepadamu ya Rasulullah surat Al Qadr, dimana di dalamnya terdapat kabar gembira untukmu dan ummatmu, dimana Allah menurunkan malam Lailatul Qadr, dimana orang yang beramal pada malam Lailatul Qadr mendapatkan pahala lebih baik dan lebih besar daridari pada seribu bulan. Maka amal ibadah yang di kerjakan ummatmu pada malam Lailatul Qadr lebih baik dari pada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang beribadah selama delapan puluh tahun”. Lalu malaikat jibril membacakan surat Al Qadr yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemulian (Lailatul Qadr).” “Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan”. “malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan”. Pada malam itu turun para malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. “Malam itu penuh kesejahtraan sampai terbit fajar”. Maka dengan turunnya wahyu tersebut yang penuh dengan kabar gembira, Rasulullah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya merasa senang dan gembira dengan adanya Lailatul Qadr.

17 September 2008

I'tikaf di Masjid Bachir Ahmad



Dewan Kemakmuran Masjid Bachir Ahmad, Insya Allah akan melayani para jama'ah dan kaum muslimin yang berniat melakukan i'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan 1429 H. Para jama'ah insya Allah akan mulai memasuki masjid pada hari Sabtu, 20 Ramadhan 1429 H bertepatan tanggal 20 Septemebr 2008.
Beberapa diantaranya mungkin akan datang lebih awal (menjelang shalat Ashar), untuk mengikuti pengajian rutin setiap hari Sabtu, ba'da ashar hingga maghrib.

Acara ta'lim biasa dilaksanakan tengah malam pukul 00 00 s/d pkl 03 30 WIB, setelah shalat 'Isya dan Tarawih berjamaah (mulai pkl. 22 00 WIB)

( Pedoman Ringkas Ibadah I'tikaf )


27 Mei 2008

Penjelasan Millah Ibrahim AS

PENULIS
SYAIKH ABU MUHAMMAD ‘ASHIM AL MAQDISIY


ALIH BAHASA
ABU SULAIMAN AMAN ABDURRAHMAN


Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman tentang Millah Ibrahim ‘alaihis salam.

وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)

dan Dia Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman juga seraya mengkhithabi Nabi-Nya Muhammad,
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif". dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (QS. An Nahl, 16: 123)

Dengan ungkapan yang terang dan jelas ini, Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala menjelaskan kepada kita minhaj dan jalan. Jalan yang benar serta minhaj yang lurus adalah Millah Ibrahim, tidak ada kesamaran dan kejanggalan dalam hal itu. Dan siapa yang tidak menyukai jalan ini dengan dalih maslahat dakwah atau bahwa meniti jalan tersebut bisa mendatangkan berbagai macam fitnah dan bencana atas kaum muslimin atau alasan-alasan kosong lainnya yang dibisikkan oleh syaithan pada jiwa-jiwa yang lemah imannya, maka dia itu dungu, terperdaya lagi menduga bahwa dirinya lebih mengetahui akan metode dakwah daripada Ibrahim ‘Alaihis Salam yang telah disucikan Allah dengan firman-Nya:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.” (QS. Al Anbiya, 21: 51)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala

وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. Al Baqarah, 2: 130)

Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah mensucikan dakwahnya di hadapan kita dan memerintahkan penutup para Nabi dan rasul agar mengikutinya, serta Dia menjadikan safaahah (dungu/bodoh sekali) sebagai sifat bagi setiap orang yang tidak suka terhadap jalan dan manhajnya. Sedangkan Millah Ibrahim adalah:
● Memurnikan ibadah kepada Allah saja dengan segala makna yang di kandung oleh kata ibadah.(5)
● Berlepas diri dari syirik dan para pelakunya.
Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Pokok dien Al Islam dan kaidahnya ada dua:
Pertama: - Perintah ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya
- Dorongan kuat atas hal itu
- Melakukan loyalitas di dalamnya
- Dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya
Kedua : - Peringatan dari penyekutuan dalam ibadah kepada Allah
- Kecaman keras terhadap hal itu
- Melakukan permusuhan di dalamnya
- Dan mengkafirkan orang yang melakukannya
Dan inilah tauhid yang didakwahkan oleh para rasul ‘Alaihis Salam seluruhnya … dan inilah makna laa ilaaha illallah. Yaitu pemurnian, tauhid, dan pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah serta loyalitas terhadap dien dan para wali-wali-Nya, dan kufur serta bara’ah dari segala yang diibadahi selain-Nya dan juga memusuhi musuh-musuh-Nya.
Ini adalah tauhid i’tiqadiy dan amaliy dalam satu waktu. Surat Al Ikhlas adalah dalil akan tauhid I’tiqadiy sedangkan surat Al Kafirun dalil akan tauhid ‘amaliy. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sering membaca dua surat ini dan selalu kontinyu dalam sunat fajar dan yang lainnya karena sangat penting keduanya.
PERINGATAN PERTAMA:
Ada yang mengira bahwa Millah Ibrahim ini terealisasi pada zaman kita ini dengan cara mempelajari tauhid, dan mengetahui bagian-bagian dan macam-macamnya yang tiga dengan sekedar ma’rifah nadhariyah (teoritis)…. Terus diam dari (mensikapi) ahlul bathil dan tidak menyatakan serta menampakkan bara’ah dari kebatilan mereka.
Maka terhadap macam orang seperti itu kami katakan: Seandainya Millah Ibrahim adalah seperti itu, tentulah kaumnya tidak melemparkan beliau ke dalam api karenanya, bahkan seandainya ia bermudahanah terhadap mereka, mendiamkan sebagian kebatilan mereka, tidak menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka, tidak menyatakan permusuhan terhadap mereka, dan mencukupkan dengan tauhid nadhariy yang ia kaji bersama pengikut-pengikutnya dengan pengkajian yang tidak keluar pada waqi’ ‘amali (realita praktek) yang menjelma dalam bentuk al wala, al bara’, cinta, benci, memusuhi, dan menjauh karena Allah, bisa jadi bila beliau melakukan hal itu mereka membukakan baginya semua pintu, bahkan bisa saja mereka mendirikan baginya sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga seperti pada zaman kita yang di dalamnya dipelajari tauhid nadhariy ini… dan bahkan bisa saja mereka itu memasang di atasnya papan nama yang besar dan mereka menamakannya: Madrasah atau Ma’had tauhid, fakultas dakwah dan ushuluddien,…. dll. Ini semua tidak membahayakan mereka dan tidak mempengaruhi mereka selama hal itu tidak keluar pada realita dan praktek. Dan seandainya universitas-universitas, sekolah-sekolah, dan fakultas-fakultas ini mengeluarkan bagi mereka ribuan skripsi, karya ilmiah dan risalah Magister dan Doktoral tentang ikhlas, tauhid dan dakwah, tentulah mereka tidak mengingkari hal itu, bahkan justeru mereka memberikan ucapan selamat dan memberikan hadiah-hadiah, ijazah-ijazah dan gelar-gelar yang besar buat para peraihnya … selama hal itu tidak menyinggung kebatilan, keadaan dan realita mereka, serta selama tetap pada keadaannya yang terkaburkan.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata dalam Ad Durar As Saniyyah: “Tidak terbayang -bahwa seseorang- mengetahui tauhid dan mengamalkannya namun tidak memusuhi para pelaku syirik, sedangkan orang yang tidak memusuhi mereka maka tidak dikatakan kepadanya (bahwa) ia mengetahui tauhid dan mengamalkannya,” (Juz Al Jihad hal: 167)
Dan begitu juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam seandainya saja beliau diam di permulaan dakwahnya dari menjelek-jelekkan pola pikir Quraisy, mencela tuhan-tuhan mereka dan memburuk-burukannya dan seandainya beliau –dan ini tidak mungkin- menyembunyikan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat celaan akan apa-apa yang mereka ibadati, seperti latta, uzza dan manat… dan (menyembunyikan) ayat-ayat yang menyinggung Abu Lahab, Al Walid dan yang lainnya. Dan begitu juga ayat-ayat tentang bara’ah dari mereka, dien mereka dan ma’budat mereka –dan ini alangkah banyaknya seperti surat Al Kafirun dan yang lainnya– seandainya beliau lakukan hal itu –dan tidak mungkin- tentulah mereka mau duduk di majelis beliau, memuliakannya serta mereka mendekatkan beliau dan tentu mereka tak akan meletakkan isi perut unta di atas kepala beliau saat sedang sujud serta tidak pernah terjadi apa yang telah terjadi menimpa beliau berupa penindasan mereka seperti apa yang dijabarkan dan dituturkan dalam khabar yang tsabit dari sirahnya. Dan tentu beliau tidak butuh terhadap hijrah, capek, lelah dan penderitaan serta tentu beliau dan para sahabatnya bisa menetap di rumah dan tanah air mereka dengan aman. Jadi masalah loyal pada dienullah dan pemeluknya serta memusuhi kebatilan dan para pengusungnya adalah telah difardlukan atas kaum muslimin di fajar dakwah sebelum difardlukannya shalat, zakat, shaum dan haji. Dan karena sebabnya bukan karena sebab lainnya terjadilah penyiksaan, penindasan dan cobaan.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq dalam risalahnya yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah berkata: “Hendaklah orang yang berakal mengamati dan hendaklah orang yang jujur pada diri sendiri mencari tentang sebab yang mendorong orang quraisy untuk mengusir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya dari Mekkah padahal ia adalah tempat yang paling mulia. Sesungguhnya sudah diketahui bahwa mereka tidak mengusirnya kecuali setelah kaum mukminin terang-terangan di hadapan mereka mencela dien mereka dan kesesatan nenek moyangnya. Kemudian mereka ingin agar beliau menghentikan hal itu serta mereka mengancam beliau dan para sahabatnya dengan pengusiran. Para sahabat mengadukan kepada beliau dahsyatnya penindasan orang-orang musyrik terhadap mereka, maka beliau memerintahkan mereka agar bersabar dan bercermin dengan orang-orang dahulu yang ditindas. Beliau tidak mengatakan kepada mereka: “Tinggalkan celaan terhadap dien kaum musyrikin dan hinaan terhadap ajaran mereka”, Beliau dan para sahabatnya memilih keluar dan meninggalkan tanah airnya padahal ia adalah tempat paling mulia di muka bumi ini”.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada bagi kalian pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik, yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir serta ia banyak mengingat Allah.” (QS. Al Ahzab, 33: 21) dari Juz Al Jihad hal 199.

Begitulah. Sesungguhnya para thaghut di setiap masa dan tempat, mereka tidak menampakkan sikap ridla terhadap Islam atau bersikap lembut damai padanya, dan mereka tidak mengadakan muktamar-muktamar tentang Islam dan menyebarkannya dalam buku-buku dan majalah-majalah, serta mereka tidak mendirikan lembaga-lembaga dan universitas-universitas Islam kecuali bila itu adalah dien yang picak, pincang, terputus kedua sayapnya lagi jauh dari realita mereka dan dari muwalatul mu’minin dan bara’ dari musuh-musuh dien ini, penampakkan permusuhan terhadap mereka, tuhan-tuhan mereka dan manhaj-manhaj mereka yang batil.
Dan kami saksikan hal ini sangat jelas di negara yang bernama Saudi. Sesungguhnya negara ini menipu manusia dengan cara mensponsori tauhid, buku-buku tauhid, dan dengan cara memberikan loyalitas bahkan dorongan terhadap para ulama untuk memeranginya (syirik) kuburan, shufiyyah, ajimat, pelet (asihan), pohon dan batu-batu, (yang dikeramatkan) serta yang lainnya dari hal-hal yang tidak dia khawatirkan dan tidak merugikannya atau mempengaruhi pada politik dalam dan luar negaranya. Dan selama tauhid yang terpilah-pilah lagi timpang ini jauh dari para sultan dan tahta-tahta mereka yang kafir itu maka tauhid semacam ini mendapatkan dukungan, bantuan dan sponsor dari mereka. karena kalau tidak demikian, maka mana tulisan-tulisan Juhaiman dan yang serupa dengannya rahimahullah yang penuh dan sarat dengan tauhid…??? Kenapa tulisan-tulisan itu tidak mendapatkan dukungan dan sponsor pemerintah…??? Padahal beliau itu tidak mengkafirkan pemerintah ini dalam tulisan-tulisannya itu… atau mungkin karena itu adalah tauhid yang menyelesihi selera dan keinginan para thaghut (Saudi), berbicara tentang politik serta menyinggung masalah Al Wala, Al Bara’, Bai’at dan Imarah. Silakan rujuk ucapannya dalam Mukhtashar Risalah Al Amru Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar dari hal 100 hingga 110 dari Ar Rasail As Sab’u. Sungguh beliau mengetahui benar masalah ini rahimahullah.
Asy Syaikh Al ‘Allamah Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata dalam kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatil Murtaddin wa Ahlil Isyrak: “Sesungguhnya banyak orang mengira bahwa bila ia mampu untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, melakukan shalat lima waktu dan tidak dihalangi dari mendatangi masjid, berarti ia telah menampakkan diennya meskipun ia hidup di tengah kaum musyrikin atau di tempat-tempat kaum murtaddien. Sungguh (orang yang mengira) itu telah keliru dalam hal itu dengan kekeliruan yang paling buruk. Dan ketahuilah sesungguhnya kekafiran itu bermacam-macam dan beraneka ragam dengan beragamnya mukaffirat (hal-hal yang membuat kafir). Setiap kelompok dari kelompok-kelompok kekafiran memiliki macam kekafiran yang masyhur darinya, dan orang muslim tidak dikatakan telah menampakkan diennya sehingga ia menyelisihi setiap kelompok itu dengan apa yang masyhur darinya dan terang-terangan menyatakan permusuhan terhadapnya serta bara’ darinya.”
Dan beliau berkata juga dalam Ad Durar As Saniyyah: “Sedangkan idhharud dien adalah mengkafirkan mereka, mencela ajaran mereka, menjelek-jelekkan mereka, bara’ dari mereka, berhati-hati dari mencintai mereka dan cenderung kepadanya, dan menjauhi mereka. Dan idhharud dien itu bukan hanya shalat.” (dari Juz Al Jihad: 196)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam Diwan Uqud Al Jawahir Al Mundladah Al Hisan hal 76-77:
Idhharud dien ini adalah terang-terangan mengkafirkan mereka…
Karena mereka adalah golongan orang-orang kafir…
Permusuhan yang nyata dan kebencian yang nampak…
Wahai orang-orang yang berakal, apa kalian punya pikiran…
Ini, dan hati tidak cukup kebenciannya…
Dan cinta darinya, serta apa tolak ukurnya…
Tolak ukurnya adalah engkau mengatakannya…
Terang-terangan dan tegas-tegas terhadap mereka lagi menampilkannya…
Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman berkata dalam Juz Al Jihad dari kitab Ad Durar As Saniyyah hal 141: “Dan klaim orang yang Allah butakan bashirahnya bahwa idhharud dien adalah mereka (musyrikin) tidak melarang orang untuk beribadah atau belajar, ini adalah klaim yang batil. Klaimnya tertolak secara akal dan syari’at karena kalau demikian maka hendaklah senang orang yang hidup di negeri Nashara, Majusi dan India dengan hukum yang bathil itu, karena shalat, adzan dan pengajian ada di negeri-negeri mereka…”
Dan semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
Mereka mengira bahwa dien itu adalah
(Ucapan) labbaika di padang pasir…
Shalat dan diam dari penguasa…
Berdamai dan berbaur dengan orang yang telah mencela dien ini…
Sedang dien ini tidak lain adalah cinta, benci dan loyalitas…
Begitu juga bara dari setiap orang sesat dan berdosa…
Abul Wafa Ibnu Uqaid rahimahullah berkata: “Bila engkau ingin melihat posisi Islam di tengah manusia zaman sekarang, maka jangan kau lihat berjubelnya mereka di pintu-pintu masjid dan gemuruh mereka dengan labbaika, namun lihatlah keselarasan mereka terhadap musuh-musuh syari’at. Maka berlindunglah… berlindunglah pada benteng dien ini dan berpeganglah pada tali Allah yang kokoh, serta cepatlah bergabung dengan wali-wali-Nya al mukminin, dan hati-hatilah dari musuh-musuh-Nya yang selalu menyelisihi. Sungguh sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala yang paling utama adalah membenci orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya dan menjihadinya dengan tangan, lisan dan hati sesuai kemampuan.” (Ad Durar, Juz Al Jihad, hal: 238)
PERINGATAN KEDUA:
Kebalikan dari bara’ah dari syirik dan para pelakunya… di sana juga ada (loyalitas pada dienullah dan para auliyanya, membela mereka, mendukungnya, memberikan nasehat buat mereka, menampakkan dan menyatakan terang-terangan akan hal itu) agar hati mereka selaras, dan barisan-barisan menjadi rapat. Meskipun kami menegur keras saudara-saudara kami al muwahiddin yang menyimpang dari kebenaran, dan bagaimanapun kami bersikap keras dalam menasehati mereka dan mengkritik jalan-jalan mereka yang menyelisihi jalan para Nabi. Maka orang muslim bagi muslim lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam adalah bagaikan dua tangan yang satu mencuci yang lainnya, dan bisa saja penyucian kotoran ini terkadang membutuhkan pada sikap sedikit keras yang berujung baik terpuji, karena yang dimaksud dibaliknya adalah keutuhan tangan dan kebersihannya. Dan kami tidak membolehkan sama sekali bersikap bara’ sepenuhnya dari mereka, karena orang muslim memiliki atas saudaranya hak loyalitas yang tidak bisa terlepas kecuali dengan kemurtadan dan keluar dari lingkungan Islam…. Dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah menilai besar status hak ini. Dia berfirman:

إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “Bila kamu tidak melakukannya maka terjadilah fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al Anfal, 8: 73)

Orang muslim yang menyimpang hanya di bara’ dari kebatilannya, bid’ahnya dan penyimpangannya saja dengan tetap menjaga pokok loyalitas. Tidaklah engkau lihat bahwa hukum memerangi para bughat (pembangkang) dan yang semisalnya berbeda dengan hukum-hukum memerangi murtaddin. Dan kami tidak akan membuat mata para thaghut berbinar-binar dan senang dengan sikap sebaliknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang-orang yang mengakui Islam dari kalangan yang sudah rusak pada mereka timbangan al wala dan al bara’ pada masa sekarang. Mereka sangat bara’ dan menjelek-jelekkan orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan muwahiddin, dan mentahdzir (menghati-hatikan orang) dari (mendekati) mereka, bahkan mentahdzir dari banyak kebenaran yang ada pada mereka, dan bahkan dilakukan lewat lembaran koran-koran yang busuk yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dan jangan tanya tindakan itu mendorong orang-orang dan para penguasa untuk menuduh mereka dari dakwahnya, sampai-sampai banyak para dai itu ikut serta dengan para penguasa dalam menghabisi mereka dan dakwahnya dengan cara melancarkan tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap mereka atau menghaturkan fatwa-fatwa kepada thaghut untuk menumpas mereka, seperti peringatan mengatakan tentang muwahidien: bughat atau khawarij atau (mereka itu) lebih berbahaya bagi Islam daripada Yahudi dan Nasrani, serta tuduhan lainnya, dan saya tahu banyak di antara kalangan yang gembira dengan tertangkapnya orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan muslimin ditangan para thaghut, dan mereka mengatakan: “Rasain kamu”, “Bagus biar mereka dihabisin” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang bisa jadi menjerumuskan orangnya ke dalam jahannam (melayang-layang) tujuh puluh tahun tanpa dia sadari dan ambil peduli saat melontarkannya .
Ketahuilah sesungguhnya diantara ciri khusus Millah Ibrahim dan diantara hal terpenting yang mana kami melihat keumuman para du’at zaman kita ini menyepelekannya, bahkan mayoritas mereka meninggalkan dan mematikannya:
- Penampakan bara’ah dari para pelaku syirik dan ma’buudat mereka yang batil.
- Menyatakan terang-terangan sikap kafir terhadap mereka, tuhan-tuhannya, falsafah-falsafahnya, undang-undangnya serta hukum-hukumnya yang syirik.
- Dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap mereka yang kufur sampai mereka kembali kepada Allah, meninggalkan hal itu semuanya, berlepas diri darinya dan kafir terhadapnya.

Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,” (QS. Al Mumtahanah, 60: 4)

Al’Alamah Ibnul Quyyim rahimahullah berkata: “Tatkala Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala melarang kaum muslimin dari loyalitas terhadap orang-orang kafir, maka hal itu menuntut untuk memusuhi mereka, bara’ darinya dan terang-terangan memusuhi mereka disetiap keadaan.” (Badai-ul Fawaid 3/69)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Dan firman-Nya ”وبدا“ yaitu nampak dan jelas. Perhatikan penyebutan ‘adawah (permusuhan) mendahului baghdhaa’ (kebencian), karena yang pertama lebih penting dari yang kedua. Sesungguhnya orang terkadang membenci kaum musyrikin namun tidak memusuhinya, maka ia tidak mendatangkan apa yang menjadi kewajibannya sehingga ada darinya permusuhan dan kebencian. Dan juga permusuhan serta kebencian ini harus nampak jelas lagi terang. Dan ketahuilah meskipun sesungguhnya kebencian itu berkaitan dengan hati, maka sesungguhnya ini tidak bermanfaat sampai nampak pengaruhnya serta jelas tanda-tandanya. Sedangkan itu tidak menjadi seperti demikian sehingga disertai dengan permusuhan dan pemutusan. Maka dengan demikian permusuhan dan kebencian itu menjadi nampak“ (Dari kitab Sabilun Najah Wal Fikak Min Muwalatul Murtaddin Wa Ahlil Isyrak)
Syaikh Ishak Ibnu Abdurrahman berkata: “Dan kebencian dengan hati ini tidak cukup, akan tetapi harus menampakkan permusuhan dan kebencian - dan beliau menuturkan ayat Al-Mumtahanah yang lalu, terus berkata: - coba lihatlah penjelasan yang tidak ada penjelasan sesudahnya, dimana Dia berkata: (nampak diantara kami) yaitu jelas ini adalah idhharud dien, maka wajib terang-terangan menyatakan permusuhan dan mengkafirkan mereka secara terang-terangan serta memisahkan diri dengan badan. Sedangkan makna ‘adawah (permusuhan) keberadaan kamu di suatu lembah dan lawan di lembah yang lain, sebagaimana bahwa asal bara’ah adalah pemutusan (hubungan) dengan hati, lisan dan badan. Hati orang mukmin tidak (mungkin) kosong dari (sikap) memusuhi orang kafir. Dan yang menjadi inti perselisihan adalah hanya dalam hal penampakan permusuhan…” (Ad Durar hal 141 juz Al-Jihad)
Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab (penulis kitab Fathul Majid) berkata seputar ayat Al-Mumtahanah yang lalu: “Orang yang mentadabburi ayat-ayat ini, maka ia mengetahui tauhid yang dengannya Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya, serta ia mengetahui keadaan orang-orang yang menyelisihi para rasul dan para pengikut mereka, dari kalangan orang-orang jahil yang terpedaya serta paling rugi. Syaikh kami Al Imam rahimahullah – yaitu kakeknya: Muhammad Ibnu Abdil Wahhab – berkata dalam konteks penuturan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap Quraisy untuk bertauhid, serta apa yang muncul dari mereka saat beliau menyebutkan ilah-ilah mereka bahwa itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudlarat bagi mereka, sesungguhnya mereka menjadikan hal itu sebagai celaan”. Bila engkau mengetahui ini maka engkau mengetahui bahwa orang tidak tegak Islamnya meskipun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan syirik kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik(6) dan terang-terangan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, sebagaimana firman-Nya:

لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah,58:22)

Bila engkau memahami hal ini dengan pemahaman yang baik, maka engkau mengetahui bahwa banyak diantara orang yang mengaku Islam tidak mengetahuinya. Karena kalau bukan karena itu, maka apa yang mendorong kaum muslimin untuk sabar atas penindasan, ditawan dan hijrah ke Habsyah padahal beliau adalah orang yang paling sayang dan seandainya beliau mendapatkan bagi mereka rukhshah (keringanan) tentulah beliau memberikan rukhshah kepada mereka, bagaimana itu bisa ada sedangkan Allah telah menurunkan kepadanya:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ فَإِذَآ أُوذِيَ فِي اللهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللهِ وَلَئِن جَآءَ نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِمَافِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan diantara manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menggaanggap fitnah manusia sebagai adzab Allah.Dan sungguh jika datang pertolongan dari Rabbmu, mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya kami adalah besertamu". Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada manusia?” (QS. Al Ankabut,29: 10)

“Bila saja ayat ini berkenaan dengan orang yang setuju dengan lisannya, maka bagaimana dengan selain itu, yaitu orang yang menyetujui mereka dengan ucapan dan perbuatan tanpa ada penindasan, terus ia mendukung mereka, membantu mereka, dan membela-membela mereka dan orang yang setuju dengan mereka, serta mengingkari orang yang menyelisihi mereka sebagaimana itu realita yang terjadi”. (Ad Durar Juz Al Jihad hal: 93)
Dan saya katakan kepada mereka, benar sekali engkau seolah engkau berbicara di zaman kami ini.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif rh dalam Ad Durar As Saniyyah: ketahuilah - semoga Allah menunjukkan kami dan engkau pada apa yang Dia ridlai dan Dia cintai – sesungguhnya tidak tegak bagi seorang hamba Islam dan diennya kecuali dengan memusuhi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya(7)¬. Serta loyalitas kepada wali-wali Allah dan Rasul-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu,jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah, 9: 23)
(Juz Al jihad hal: 208)
Ini adalah dien semua para rasul, dan inilah dakwah dan jalan mereka sebagaimana yang ditunjukan oleh keumuman ayat ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan begitu juga Firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala dalam ayat Al Mumtahanah ini والذين معه (dan orang-orang yang bersamanya) adalah para Rasul yang di atas dien dan millahnya. Ini dikatakan oleh banyak ahli tafsir.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdillathif Ibnu Abdurahman berkata: “Dan ini adalah idhharud dien, bukan sebagaimana yang diduga oleh orang-orang jahil yaitu bahwa bila ia dibiarkan oleh orang-orang kafir dan mereka tidak menghalanginya dari sholat, membaca Al-Qur’an serta sibuk melaksanakan hal-hal sunnat bahwa ia telah mengidharkan diennya. Ini adalah kesalahan yang fatal, karena sesungguhnya orang-orang yang terang-terangan mengatakan permusuhan terhadap kaum musyrikin dan bara’ah dari mereka, sungguh mereka (kaum musyrikin) tidak akan membiarkannya berada di tengah-tengah mereka, namun bisa jadi mereka itu membunuhnya dan mengusirnya bila mereka memiliki jalan ke arah sana, sebagaimana yang Allah sebutkan tentang orang-orang kafir, Dia berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُم مِّنْ أَرْضِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka: "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami". Maka Rabb mewahyukan kepada mereka. "Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu” (QS. Ibrahim, 14: 13)

Dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang kaum Nabi Syu’aib :

قَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِن قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَكَ مِن قَرْيَتِنَآ أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ
Artinya: “Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami". Berkata Syu'aib: "Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya". (QS. Al A’raf,7: 88)

Dan Dia menyebutkan tentang Ahlul Kahfi bahwa mereka berkata:

إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Artinya: “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya". (QS. Al Kahfi, 18: 20)

Dan dahsyatnya permusuhan antara para Rasul dengan kaumnya tidaklah terjadi kecuali setelah terang-terangan mencela dien mereka, membodoh-bodohkan ajaran mereka dan menghina tuhan-tuhan mereka.” (Ad Durar Juz Al Jihad hal 207)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata juga saat menjelaskan ayat Al Mumtahanah: “Inilah Millah Ibrahim yang Allah Firmankan tentangnya:

وَمَن يَرْغَبْ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي اْلأَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh. (QS. Al baqarah, 2:130)

Maka wajib atas orang-orang muslim untuk memusuhi musuh-musuh Allah, menampakkan permusuhan terhadap mereka, menjauh dari mereka, tidak loyal kepada mereka, tidak bermu’asyarah dengan mereka dan tidak berbaur dengan mereka.” (Juz Al Jihad 221 Ad Durar As Saniyyah)
Dan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman mengabarkan tentang Ibrahim ‘Alaihis Salam dalam tempat lain:

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ
Artinya: “Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 75-76)

Dan ditempat ketiga Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah tetapi (aku menyembah Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". (QS. Az-Zukhruf, 43: 26-27)

Asy Syaikh Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad ‘Ibnu Abdil Wahhab berkata: Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah memfardlukan bara’ah dari syirik dan kaum musyrikin, kafir terhadap mereka, memusuhi mereka, membenci mereka dan menjihadi mereka:

فَبَدَّلَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِىْ قِيْلَ لَهُمْ
“Namun orang-orang yang dholim merubah ucapan dengan selain apa yang dikatakan kepada mereka”.


فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Artinya: “Lalu orang-orang yang mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik” (QS.Al Baqarah, 2: 59)

Mereka justeru loyal kepada orang-orang musyrik, membantunya, menopangnya, meminta bantuannya atas kaum mukminin, membenci kaum mukminin dan mencelanya karena sebab hal itu. Dan semua hal-hal ini membatalkan ke-Islaman sebagaimana yang ditujukan oleh Al-Kitab dan As Sunnah dalam banyak tempat.”
Ada syubhat yang dilontarkan oleh banyak orang-orang yang terlalu tergesa-gesa, yaitu ucapan mereka bahwa Millah Ibrahim ini adalah fase terakhir dari fase-fase dakwah yang didahului penyampaian dengan penuh hikmah dan jidal dengan cara yang lebih baik. Dan seorang dai kelak menerapkan Millah Ibrahim ini, yaitu berupa bara’ah dari musuh-musuh Allah dan ma’budat mereka, kufur terhadapnya serta menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, setelah kehabisan seluruh metode-metode dan hikmah.
Maka kami katakan dengan memohon taufiq Allah: Sesungguhnya ‘isykal ini hanyalah terjadi dengan sebab tidak jelasnya Millah Ibrahim pada diri orang-orang itu, dan dengan sebab percampuradukan antara metode mendakwahi orang-orang kafir di awal mula dakwah dengan metodenya terhadap orang-orang yang mu’anid (membangkang) di antara mereka, dan juga perbedaan antara hal itu semua dengan sikap orang muslim terhadap ma’budat, falsafah-falsafah dan undang-undang kuffar yang batil itu.
Millah Ibrahim yang mana ia adalah pemurnian ibadah kepada Allah saja dan kufur terhadap segala yang diibadahi selain-Nya tidak boleh diakhirkan atau ditangguhkan, akan tetapi seyogyanya tidak boleh dimulai kecuali dengannya, karena itu adalah yang dikandung oleh kalimat laa ilaaha illallah berupa penafian dan itsbat (penerapan), dan ia adalah inti dien, pusat roda putaran dalam dakwah para Nabi dan rasul. Dan agar segala ‘isykal lenyap dari dirimu, maka ada dua hal yang meski diketahui:
Pertama : Adalah bara’ah dari segala thaghut dari ilah-ilah yang diibadati selain Allah ‘Azza wa Jalla dan kufur terhadapnya. Maka hal ini tidak boleh diakhirkan dan ditangguhkan. Namun mesti ditampakkan dan dinyatakan terang-terangan di awal titik perjalanan (dakwah)
Kedua : Bara’ah dari orang-orangnya yaitu kaum musyrikin bila mereka bersikeras di atas kebatilannya. Dan inilah rinciannya :
Masalah pertama: Yaitu kufur terhadap thaghut-thaghut yang diibadati selain Allah ‘Azza wa Jalla…, sama saja baik thaghut-thaghut ini patung dari batu, matahari, bulan, kuburan, pohon atau hukum-hukum dan undang-undang buatan manusia, maka Millah Ibrahim dan dakwah para Nabi dan rasul mengharuskan penampakkan sikap kufur terhadap ma’budat ini semuanya dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadapnya, meremehkan kedudukannya, menjatuhkan status dan keberadaannya, serta menampakkan kepalsuan, kekurangan dan cacat-cacatnya diawal titik perjalanan (dakwah) dan inilah keadaan para Nabi diawal dakwah terhadap kaumnya, di mana mereka mengatakan:

اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Artinya: “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhi “thaghut” (QS. An Nahl, 16: 36)

Dan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala tentang Al Hanif Ibrahim AS.

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُون َ. أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ .
Artinya: “Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 75-76)

Dan firman-Nya dalam surat Al-An’am:

فَلَمَّا رَءَا الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌمِّمَّا تُشْرِكُونَ
Artinya: “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata: "Inilah Rabbku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS. Al An’am, 6: 78)

قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَآأُرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ. وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّأ تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهدِينِ

Artinya: “Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 25-27)

قَالُوا مَن فَعَلَ هَذَا بِئَالِهَتِنَآ إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ * قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

Artinya: “Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang prmuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". (QS. Al Anbiya’, 21: 59-60)

Para ahli tafsir berkata: (يذكرهم) yaitu menghinanya, memperolok-olokannya dan mencelanya, Al Kitab dan As Sunnah sarat dengan dalil-dalil atas hal itu. Dan cukuplah bagi kita tuntunan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di Mekkah, dan bagaiman beliau mencela tuhan-tuhan Quraisy dan menampakkan bara’ah darinya dan kufur terhadapnya sehingga mereka menggelarinya shabi’.
Dan bila engkau mau mengecek hal itu dan meyakinkan hal itu, maka silakan rujuk dan tadabburiy ayat-ayat Al Qur’an Al Makkiy yang baru saja turun beberapa ayat darinya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga langsung menyebar ke timur, barat, utara, dan selatan serta pindah dari mulut ke mulut di pasar-pasar, di majelis-majelis dan di tempat-tempat pertemuan. Ayat-ayat tersebut mengkhitabi orang-orang Arab dengan bahasa Arab yang mereka pahami…, dengan jelas dan lantang menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka dan yang terbesar adalah Latta, Uzza, dan Manat pada zaman itu. Ayat itu mengumumkan bara’ah darinya, keterputusan hubungan darinya atau keridlaan dengannya, dan Nabi SAW tidak pernah menyembunyikan sedikitpun darinya. Beliau hanyalah pemberi peringatan.
Orang-orang yang memposisikan dirinya untuk dakwah pada masa sekarang sangat membutuhkan untuk mentadabburi hal ini baik-baik, dan mengintrospeksi diri mereka atas hal tersebut, karena dakwah yang berupaya membela dienullah kemudian ternyata melempar jauh-jauh inti yang paling mendasar ini adalah tidak mungkin sesuai dengan metode para Nabi dan Rasul. Sekarang kita pada zaman ini menyaksikan merebaknya syirik tahakum (perujukan hukum) pada UUD dan undang-undang buatan di tengah-tengah kita, sehingga dakwah-dakwah ini mau tidak mau harus mencontoh Nabi kita dalam mengikuti Millah Ibrahim dengan cara menjelek-jelekan kedudukan UUD dan undang-undang buatan, menyebut keburukannya pada manusia, menampakkan kekafiran terhadapnya, menampakan dan mengumumkan permusuhan terhadapnya dan menjelaskan penipuan para pemerintah, serta pengkaburannya dihadapan manusia. Kalau tidak demikian maka kapan lagi kebenaran ini ditampakkan dan bagaimana manusia mengetahui dien mereka dengan benar dan bisa memilah kebenaran dari kebatilan serta musuh dari kawan. Mungkin saja mayoritas mereka berdalih dengan maslahat dakwah dan fitnah. Coba fitnah apa yang lebih besar dari penyembunyian tauhid dan pengkaburan dien ini di hadapan mereka. Maslahat apa yang lebih besar dari penegakan Millah Ibrahim dan penampakkan loyalitas terhadap dienullah serta (penampakkan) permusuhan terhadap para thaghut yang diibadati dan ditaati selain Allah.
Dan bila kaum muslimin tidak diuji karena hal itu dan bila pengorbanan tidak dipersembahkan di jalannya, maka karena apa ujian itu. Kufur terhadap thaghut-thaghut seluruhnya adalah wajib atas setiap orang muslim sebagai separuh syahadatul Islam dan mengumumkan hal itu, menampakkan serta mengidharkannya adalah kewajiban yang agung juga yang mesti digemborkan oleh jama’ah-jama’ah kaum muslimin atau satu kelompok dari setiap jama’ah mereka itu paling minimal. Sehingga itu terkenal dan tersebar serta menjadi syiar dan ciri khusus bagi dakwah-dakwah ini, sebagaimana keadaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan pada zaman tamkin (jaya) saja namun pada masa istidlaf (ketertindasan) juga, sehingga menjadi buah bibir, ditahdzir dan dituduh memusuhi tuhan-tuhan itu dan yang lainnya.
Dan kami sangat heran, macam dakwah apa ini yang mana para du’atnya manangisi maslahatnya dan dien macam apa yang ingin mereka tegakkan serta tampakkan, sedangkan mayoritas mereka ini latah memuji undang-undang – ooh musibah besar – dan sebagian mereka memujinya, bersaksi atas kebersihannya, dan banyak dari mereka bersumpah untuk menghormatinya dan komitmen dengan poin-poin dan batasan-batasannya, kebalikan akan masalah yang seharusnya dan jalan sebenarnya. Seharusnya mereka itu menampakkan dan menyatakan permusuhan serta kufur terhadapnya, justeru mereka menampakkan loyalitas padanya dan ridla dengannya, maka apakah orang-orang seperti itu menebarkan tauhid atau menegakkan dien…?! Ilallahil Musytaka
Menampakkan dan menyatakan terang-terangan hal ini tidak ada kaitannya dengan pengkafiran hakim dan pengototannya untuk tetap berhukum dengan selain hukum Allah yang Maha Pengasih, karena ini berkaitan dengan UUD, hukum atau undang-undang yang berlaku dan dihormati yang diterapkan dan diagungkan serta dijadikan rujukan diantara manusia.
Masalah kedua: Yaitu bara’ah dari kaum musyrikin, kufur terhadap mereka, dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka itu. Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Ighatsatul Lahafan: ”Dan tidak selamat dari kemusyrikan syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhidnya terhadap Allah, memusuhi kaum musyrikin karena Allah serta mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mencela mereka.” Dan beliau menisbatkannya kepada Syaikhul Islam. Dan masalah ini – yaitu bara’ah dari kaum musyrikin – lebih penting dari yang pertama, yaitu bara’ah dari ma’budat mereka.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rh. Berkata dalam “Sabilun Najah Wal Fikak” saat menjelaskan Firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah.” (Al Mumtahanah : 4). “Dan disini ada faidah yang sangat indah, yaitu bahwa Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala mendahulukan bara’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah terhadap bara’ah dari berhala yang diibadati selain Allah, karena yang pertama lebih penting dari yang kedua. Sebab sesungguhnya dia bila Tabarra (berlepas diri) dari berhala dan tidak Tabarra dari yang mengibadatinya, maka dia tidak mendatangkan kewajiban dia. Adapun bila ia tabarra’ dari kaum musyrikin, maka ini memastikan bara’ah dari ma’budat mereka. Begitu juga Firman-Nya:

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَاتَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ
Artinya: “Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah.” (QS. Maryam, 19: 48)

Dia mendahulukan sikap meninggalkan mereka terhadap sikap meninggalkan apa yang mereka seru selain Allah.

Dan juga Firman-Nya:

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَايَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ
Artinya: “Maka tatkala dia menjauhi mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah” (QS. Maryam, 19: 49)

Dan Firman-Nya:
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَايَعْبُدُونَ إِلاَّ اللهَ
Artinya: “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah.” (QS. Al Kahfi, 18: 16).

Pahamilah faidah (rahasiah) ini, karena sesungguhnya ia membukakan bagimu pintu untuk memusuhi musuh-musuh Allah. Berapa banyak yang tidak pernah muncul kemusyrikan darinya, akan tetapi dia tidak memusuhi para pelakunya, maka dia tidak menjadi muslim dengan itu karena ia telah meninggalkan dien semua para rasul.”(8)
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman berkata dalam risalahnya yang ada dalam Ad Durar As Saniyyah: “Orang terkadang selamat dari syirik dan mencintai tauhid, tapi kekurangan muncul padanya dari sisi tidak bara’ah dari para pelaku syirik dan meninggalkan loyalitas pada ahli tauhid dan membela mereka, sehingga ia menjadi orang yang mengikuti hawa nafsu lagi masuk dalam syirik pada cabang-cabang yang merobohkan diennya dan (merobohkan) apa yang telah ia bangun, lagi meninggalkan dari tauhid ini inti-inti dari cabang-cabang yang mana tidak tegak bersamanya iman dia yang diridlainya, sehingga ia tidak mencintai dan tidak membenci karena Allah serta tidak memusuhi dan tidak loyalitas karena keagungan Dzat yng menciptakan dan menyempurnakannya. Dan semua ini di ambil dari syahadat Laa Ilaaha Illallah“. (Dari Juz Al Jihad: 681)
Beliau berkata lagi dalam risalah lain masih dalam kitab itu juga hal 842: “Dan bentuk taqarrub kepada Allah yang paling utama adalah mencela musuh-musuh-Nya yang musyrik, membenci mereka, memusuhi mereka dan menjihadinya. Dan dengan (sikap) ini si hamba selamat dari loyalitas terhadap mereka dengan meninggalkan kaum mukminin. Bila dia tidak melakukan hal itu, maka dia memiliki loyalitas terhadap mereka sesuai dengan kadar kewajiban yang dia tinggalkan itu, maka hati-hatilah dari apa yang bisa menghancurkan Islam dan mencabut akarnya”.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata:
Siapa yang tidak memusuhi kaum musyrikin dan tidak…
Loyalitas dan tidak membenci serta tidak menjauhi…
Maka ia tidak berada di atas minhaj sunnah Ahmad…
Dan tidak berada di atas jalan yang lurus lagi jelas…
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang muslim harus terang-terangan menyatakan bahwa ia adalah bagian dari thaifah mukminah ini sehingga ia mengokohkannya dan thaifah itu kokoh dengannya serta membuat kaget para thaghut yang mana mereka belum mencapai puncak pada permusuhannya sehingga ia terang-terangan menyatakan terhadap mereka bahwa ia adalah bagian dari thaifah yang memerangi mereka.“ (Majmu’ah At Tauhid)
Syaikh Husein dan Syaikh Abdullah putra Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ditanya tentang orang yang masuk dalam dien (tauhid) ini, dia mencintainya dan mencintai ahlinya, namun ia tidak memusuhi kaum musyrikin, atau ia itu memusuhinya namun tidak mengkafirkannya?, maka diantara jawaban mereka adalah: “Siapa yang menyatakan saya tidak memusuhi para pelaku syirik, atau ia memusuhinya namun tidak mengkafirkannya, maka dia bukan orang muslim, dan ia tergolong orang-orang yang telah Allah Firmankan tentang mereka:

وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً * أُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

Artinya: “Dengan mengatakan:”kami bariman kepada sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain).” Serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.“ (QS. An Nisa, 4: 150-151). (Ad Durar)(9)

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata:
Musuhilah orang yang memusuhi dien Muhammad…
Loyalilah orang yang loyal padanya dari setiap orang yang dapat hidayah…
Cintailah karena dasar cinta pada Allah orang yang beriman…
Bencilah karena dasar benci karena Allah orang-orang yang membangkang…
Sebab dien itu tidak lain adalah cinta, benci dan loyalitas…
Begitu juga bara’ dari setiap orang binasa dan melampaui batas…
Dan beliau berkata juga :
Ya, andai kau jujur pada Allah dalam apa yang engkau klaim…
Tentulah engkau musuhi orang yang kafir terhadap Allah…
Dan engkau loyali ahlul haq secara rahasia dan terang-terangan…
Dan tentu engkau tidak serang mereka seraya membela kekafiran…
Tidak setiap seorang yang mengatakan apa yang engkau ucapkan itu muslim…
Namun dengan syarat-syarat yang disebutkan di sana…
Menyelisihi orang-orang kafir disetiap tempat…
Dengan inilah telah datang kepada kita nash shahih yang menyatakannya…
Mengkafirkan mereka terang-terangan dan menghina pola pikir mereka…
Dan menyesat-nyesatkan mereka tentang apa yang mereka lakukan dan tampakkan…
Engkau menyatakan ketauhidan di tengah-tengah mereka…
Dan menyeru mereka padanya dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan…
Inilah dien hanif dan petunjuk…
Serta Millah Ibrahim andai engkau merasakan…
Tentunya kami tidak mengatakan bahwa penampakkan bara’ah dan permusuhan ini mencakup termasuk bagi al mu’allaf quluubuhum atau orang-orang yang menampakkan penerimaan (akan tauhid) dan tidak menampakkan permusuhan akan dienullah, meskipun yang wajib adalah keberadaannya di dalam hati bagi setiap orang musyrik, sehingga membersihkan diri dari syiriknya, namun pembicaraan di atas adalah tentang penampakkan, i’lan, mujaharah dan pernyataan terang-terangan. Mereka dan bahkan orang-orang yang diktator (pembangkang) dan orang-orang yang dhalim diajak untuk taat kepada Allah dengan cara bijaksana dan wejangan yang baik di awal mulanya dakwah, kemudian bila mereka menerima maka mereka adalah saudara-saudara kami, kami mencintainya sesuai kadar ketaatan mereka, hak mereka sama dengan hak kami dan kewajiban mereka sama dengan kewajiban kami. Dan bila mereka menolak padahal hujjah telah jelas, mereka keras hati dan bersikukuh di atas keyakinan mereka yang batil dan syirik serta berdiri di barisan yang memusuhi dienullah, maka tidak ada mujamalah (basa - basi) dan mudahanah (sikap lembut) terhadap mereka, akan tetapi saat itu wajib menampakkan dan menyatakan terang-terangan bara’ah dari mereka. Dan mesti membedakan di sini antara keinginan kuat agar kaum musyrikin dan kafirin mendapatkan hidayah serta upaya mendapatkan pendukung bagi dien ini juga lembut dalam menyampaikan, bijaksana dan wejangan yang baik, (wajib) membedakannya dengan masalah cinta, benci, loyalitas dan permusuhan dalam dienullah, karena banyak dari manusia masih ngawur dalam hal itu, sehingga mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami banyak nash, seperti: “Ya Allah beri petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui”. Dan yang lainnya.
Ibrahim AS telah bara’ah dari keluarga terdekatnya tatkala jelas baginya bahwa ayahnya itu bersikukuh di atas syirik dan kekafirannya. Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman:

فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ للهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ
Artinya: “Kemudian tatkala jelas baginya bahwa ia adalah musuh Allah, maka ia bara’ah darinya.” (QS. At Taubah, 8: 114)

Ini setelah beliau mengajaknya dengan penuh bijaksana dan wejangan yang baik, maka engkau bisa mendapatkannya mengkhitabi ayahnya dengan perkataannya.

يَآأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَآءَنِي مِنَ الْعِلْمِ
Artinya: “Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu.” (QS. Maryam, 19: 43)

يَآأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَـنِ
Artinya: “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditempa adzab dari Tuhan yang maha pemurah.” (QS. Maryam, 19: 45)

Dan begitu juga Musa AS kepada Fir’aun setelah Allah mengutusnya kepadanya dan berfirman:

فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَ
Artinya: “Maka katakan kepadanya ungkapan yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha, 20: 44)

Ia memulainya dengan ungkapan yang lemah lembut terhadapnya dalam rangka memenuhi perintah Allah, dia berkata:

هَل لَّكَ إِلىَ أَن تَزَكَّى. وَأَهْدِيَكَ إِلىَ رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya: “Adakah keinginan bagi dirimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan ku pimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.” (QS. An Nazi’at, 79: 18-19).

Dan tatkala ia memperlihatkan kepadanya mukjizat-mukjizat yang besar dan tatkala Fir’aun menampakkan pendustaan, pembangkangan dan pengototan di atas kebatilan, maka Musa AS berkata kepadanya sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala:

لَقَدْ عَلِمْتَ مَآأَنزَلَ هَآؤُلآءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَافِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
Artinya: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun seorang yang yang akan binasa.” (QS. Al Isra’ 17: 102).

Bahkan dia berdo’a untuk membinasakan mereka:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَآ إِنَّكَ ءَاتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَن سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وْاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَيُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوْا الْعَذَابَ اْلأَلِيمَ
Artinya: Musa berkat: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau, Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS.Yunus, 10: )

Orang-orang yang selalu mengembar-gemborkan nash-nash tentang lemah lembut dan kemudahan secara mutlak serta menempatkannya bukan pada tempat dan posisinya, seyogyanya bagi mereka untuk diam lama mentadabburi masalah ini, mempelajarinya dan memahaminya baik-baik bila memang mereka itu ikhlas.
Dan setelah itu hendaklah mereka mengetahui baik-baik bahwa orang yang diajak bicara dengan berbagai metode dan umumnya adalah tergolong metode lembut dan halus, baik lewat jalan risalah-risalah, buku-buku dan langsung berhadapan lewat perantaraan banyak para du’at serta dijelaskan kepadanya bahwa al hukmu bighairi ma anzalallah adalah kekafiran… dan dia tahu bahwa tidak boleh baginya berhukum dengan selain syari’at Allah, namun demikian dia tetap ngotot dan bersikukuh… meskipun pada dhahirnya pada banyak kesempatan dia menertawakan dagu-dagu orang miskin dengan janji-janjinya yang kosong lagi dusta dan ucapan-ucapannya yang di reka-reka serta dalih-dalih yang lemah lagi palsu… sedangkan lisan realitanya mendustakan ucapannya. Dan itu dengan cara pengakuannya serta diamnya dari merebaknya kekafiran dan kerusakan di tengah-tengah negeri dan masyarakat hari demi hari… pengekangannya terhadap para du’at dan kaum mukminin, sikap mempersulit terhadap orang-orang yang melakukan perbaikan dan pengintaiannya terhadap mereka dengan dinas intelejen dan aparat kepolisiannya… dan dalam waktu bersamaan pelapangannya bagi setiap orang yang memerangi dien Allah, memberikan kemudahan bagi sarana-sarana kerusakan dan pengrusakan untuk dikelola musuh-musuh Allah, bahkan mempersilakan sarana-sarana informasi bagi mereka, kerusakan mereka dan kekafiran mereka… serta menggulirkan undang-undang dan aturan-aturan yang memberikan sangsi bagi setiap orang yang menyerang “Yasiqnya” (undang-undangnya) Al Wadl’iy yang syirik, atau menyatakan kufur dan bara’ah darinya, atau menghinanya atau menjelaskan kebatilannya pada manusia… dan sikap bersikukuhnya untuk menjadikan undang-undang buatan (yasiq modern)nya sebagai pemutus diantara manusia dalam hal darah, harta dan kemaluan, padahal undang-undang itu penuh dengan kekafiran yang nyata…. Dan tidak berserah dirinya pada syari’at Allah serta tidak mau menjadikan sebagai rujukan padahal dia mengetahui akan wajibnya hal itu serta tuntutan kaum muslihin terhadapnya… maka orang seperti ini tidak boleh mudahanah (basa-basi) terhadapnya, muhadanah (berdamai) dengannya, mujamalah terhadapnya, mengagungkannya dengan gelar-gelar, mengucapkan selamat terhadapnya saat hari-hari raya dan munasabat atau menampakkan loyalitas terhadapnya atau pemerintahannya… Namun tidak boleh dikatakan kepadanya kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian, UUD kalian, undang-undang kalian yang syirik dan pemerintahan kalian yang kafir…. kami kafir terhadap kalian (kami kafirkan kalian)… dan tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala, menyerahkan diri dan tunduk kepada syari’at-Nya saja.”
Masuk dalam kategori ini juga pentahdziran (mengingatkan orang lain) untuk (tidak) loyal pada mereka, taat patuh kepada mereka, tentram dengan mereka, berjalan dalam alur mereka dan dari memperbanyak dari jumlah mereka dengan cara pekerjaan-pekerjaan yang membantu mereka untuk mengokohkan kebatilannya atau melanggengkan pemerintahannya dan menjaga atau menerapkan undang-undangnya yang batil seperti: tentara, polisi, intelejen dan yang lainnya.
Bila saja sikap-sikap salaf terhadap para penguasa zamannya – yang sama sekali tidak sah disamakan dengan ini dan yang semisal dengannya – adalah sikap-sikap yang tegas, jelas lagi bersih… mana hal itu bila dibandingkan dengan sikap-sikap banyak para tokoh dakwah pada zaman kita ini… padahal mereka itu masyhur dan disanjung oleh para pengikutnya… padahal para salaf itu tidak pernah alumni dari fakultas-fakultas ilmu-ilmu politik atau HAM, mereka tidak pernah membaca koran dan majalah-majalah yang kotor dengan dalih mempelajari tipu daya musuh…. Namun dengan demikian mereka itu lari dari penguasa dan pintu-pintunya sedangkan penguasa itu mencari mereka dan dengan harta dan yang lainnya. Adapun orang-orang yang mengaku salafiy sekarang dari kalangan yang mana dien mereka dipermainkan syaithan, mereka itu justeru mencari kebaikan dunia mereka dengan rusaknya dien mereka, mereka mendatangi dan mencari pintu-pintu penguasa sedangkan penguasa itu menghinakan mereka dan berpaling dari mereka.
Para salaf itu – semoga Allah meridlai mereka – melarang dari masuk pada penguasa yang dzalim, termasuk bagi orang yang ingin memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, karena khawatir terkena fitnah mereka sehingga ia bermudahanah atau bermujamalah terhadap mereka untuk memuliakan mereka atau diam membiarkan sebagian kebatilannya atau mengakuinya, dan para salaf memandang bahwa menjauh dari mereka dan meninggalkan mereka adalah bentuk bara’ah dan pengingkaran terbaik terhadap keadaan mereka…. Dan silakan dengarkan Sufyan Ats Tsauri saat ia menyurati ‘Abbad Ibnu ‘Abbad, beliau berkata dalam suratnya: “Hati-hatilah kamu mendekati penguasa atau bergaul dengan mereka dalam hal sekecil apapun, dan hati-hatilah dari dikatakan kepadamu jadilah perantara dan tolonglah orang-orang yang didhalimi atau permintaan hak dikembalikan, karena sesungguhnya hal itu adalah tipu daya iblis… dan itu hanyalah dijadikan tangga oleh para ahli baca Al-Qura’an (yang fajir)…“ (Dari Siyar A’lam An Nubalaa 13/586 dan Jami’ Bayan Al ‘Ilmi Wa Fadllihi 1/179)
Lihatlah Sufyan rahimahullah menamakan apa yang dinamakan maslahat dakwah oleh para du’at hari ini sebagai tipu daya (khadi’ah) Iblis… dan beliau tidak mengatakan pada pelakunya sebagaimana yang dilakukan oleh banyak du’at sekarang yang menyia-nyiakan umurnya dalam rangka mencari maslahat dakwah dan membela dien disamping musuh-musuh dien ini dan orang-orang yang memeranginya: ”Jangan (keluar) wahai akhi…!!! tetaplah keberadaanmu dan mendekatlah kepada mereka, siapa tahu kamu berhasil dapat jabatan atau kursi di kabinet atau DPR dan bisa jadi kamu memperkecil kedhaliman, atau engkau memberikan manfaat buat saudaramu, jangan biarkan jabatan ini buat orang-orang ahli maksiat dan orang-arang bejat nanti mereka memanfaatkannya… dan… dan…”, justeru Sufyan mensifati hal itu bahwa ia adalah tangga untuk dunia bagi para ahli baca AL-Qur’an yang bejat, bila ini di zaman beliau maka apa gerangan di zaman kita. Kita memohon ‘afiyah kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala, dan berlindung dari kejahatan orang-orang zaman sekarang dan kebusukan talbis-talbis mereka… dan semoga Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang berkata:

Orang-orang yang kamu lihat mereka bergegas memenuhi panggilan majelis…
Di dalamnya terdapat kebinasaan dan setiap kekafiran yang dekat...
Bahkan di dalamnya ada undang-undang nasara sebagai acuan…
Tanpa ada nash yang terdapat dalam Al Qur’an…
Enyahlah kalian karena sebab gerombolan orang-orang yang telah merusak padanya. Cinta penyelisihan dan sogokan penguasa…

Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah seringkali mengutip ucapan Sufyan Ats Tsauriy: “Siapa yang duduk pada ahli bid’ah maka ia tidak akan selamat dari salah satu yang tiga:”
● Bisa jadi ia menjadi fitnah bagi yang lain dengan sebab duduk bersamanya, sedangkan telah ada dalam hadits:

من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها بعده من غير أن يفقص من أجورهم شىء. ومن سن فى الأسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء. رواه مسلم.
“Siapa yang memberikan contoh yang baik dalam Islam ini, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan siapa yang memberikan contoh yang buruk di dalam Islam ini, maka ia memikul dosanya dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR. Muslim.)

● Bisa saja ada sedikit penganggapan baik di dalam hatinya, sehingga ia tergelicir dengannya kemudian Allah menjerumuskannya ke dalam api neraka dangan sebab itu.
● Bisa saja dia berkata: “Demi Allah saya tidak peduli dengan apa yang mereka katakan, dan sesungguhnya saya percaya dengan diri saya.”
Siapa orang yang merasa aman dari Allah sekejap saja atas diennya maka Allah mencabutnya dari dirinya.“ (Dari Ad Durar dan yang lainnya)
Bila saja ini adalah ungkapan mereka tentang majelis-majelis bid’ah padahal bid’ahnya tidak mukaffirah sebagaimana yang telah diketahui dalam banyak tempat dari ucapan mereka, maka apa gerangan dengan duduk-duduk bersama dengan kaum murtaddun dari kalangan budak-budak undang-undang dan kaum musyrikin lainnya.
Perhatikan ucapannya:”…sesungguhnya saya pecaya dengan diri saya…” dalam nomor ke tiga...!!!, berapa banyak orang yang jatuh dari kalangan du’at zaman kita dengan sebabnya dan dengan yang sepertinya… oleh sebab itu carilah selamat… carilah selamat.
Dan bagaimanapun sungguh Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah menggugurkan semua jalan-jalan yang bengkok ini yang mana para pelakunya menyampaikan pembelaan akan dien di baliknya, maka Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala telah menjelaskan bahwa tidak ada pembelaan yang diharapkan dan tidak ada maslahat diniyyah selama-lamanya dalam sikap taqarrub kepada manusia yang dholim, Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala berfirman dalam surat Hud yang membuat Nabi SAW beruban:

وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ

Artinya: “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang dhalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud, 11: 113)

Maka dibalik mudahanah-mudahanah dan jalan-jalan yang timpang ini tidak ada pembelaan buat dien Allah dan tidak ada maslahat meskipun hal itu diduga oleh orang-orang yang menduga… kecuali bila sentuhan api neraka itu adalah maslahat dakwah bagi mereka. Maka sadarlah kamu dari tidur kamu, dan janganlah kamu terpedaya oleh setiap orang yang berceloteh dan berbicara.
Para ahli tafsir berkata tentang firman-Nya Subhanahu Wa Ta ‘Ala. “ولاتركنوا” Ar Rukuun adalah kecenderungan yang sedikit.
Abul ‘Aaliyah berkata: “Janganlah kalian cenderung pada mereka dengan kecenderungan yang banyak dalam kecintaan dan perkataan yang lembut.”
Sufyan Ats Tsauriy berkata: “Atau mengambilkan kertas baginya, maka ia telah masuk dalam hal itu.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: “Maka Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala mengancam dengan sentuhan api neraka orang yang cenderung kepada musuh-musuh-Nya dengan ucapan yang lemah lembut.”
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman - dan beliau tergolong Aimmah Dakwah Najdiyyah Salafiyyah - juga berkata setelah menuturkan sebagian perkataan al mufassirun yang lalu tentang makna cenderung. ”Itu dikarenakan dosa syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Allah didurhakai dengan beragam tingkatannya, maka apa gerangan bila hal itu ditambah dengan apa yang lebih buruk, yaitu perolok-olokan terhadap ayat-ayat Allah, menggeser hukum-hukum dan perintah-perintah-Nya, serta menamakan hukum yang menyelisihinya dengan keadilan, sedangkan Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin mengetahui bahwa itu adalah kekafiran, kejahilan dan kesesatan. Orang yang sedikit memiliki penjunjungan (pada dien) dan di hatinya ada sedikit kehidupan tentu dia cemburu terhadap Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya dan Dien-Nya, serta dahsyatlah pengingkaran dan bara’ahnya di setiap kesempatan dan majelis. Ini tergolong jihad yang mana menjihadi musuh tidak terealisasi kecuali dengannya. Maka pergunakanlah kesempatan idhhar dienullah, mudzakarah dengannya, mencela orang yang menyalahinya, bara’ah darinya dan dari para pelakunya. Perhatikanlah sarana-sarana yang menjerumuskan pada kerusakan terbesar ini dan perhatikanlah nash-nash syari’at yang menjelaskan sarana-sarana dan jalan-jalan (yang menghantarkannya), karena mayoritas manusia meskipun dia tabara’ darinya dan dari pelakunya namun ia adalah tentara bagi orang-orang yang loyal pada mereka, tenang dengan mereka dan tinggal dengan perlindungan mereka, Wallahul musta’an.“ (Ad Durar Juz Al Jihad hal 161). Sungguh indah sekali, seolah beliau berbicara tentang zaman kita.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata; takutlah kepada Allah… takutlah kepada Allah… Wahai sudara-saudaraku, pegang teguhlah ashlu dien kalian, yang paling awal dan pangkalnya serta kepalanya, yaitu syahadat Laa Ilaha Illallaah, ketahuilah maknanya dan cintailah ia dan cintailah orang-orangnya serta jadikanlah mereka itu sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka jauh dari kalian secara keturunan. Dan kufurlah kepada para thaghut, musuhilah mereka, bencilah mereka dan bencilah orang yang mencintai mereka atau membela-membela mereka atau tidak mengkafirkan mereka atau mengatakan,”apa urusan saya dengan mereka” atau mengatakan, “ Allah tidak membebani saya untuk mengomentari mereka”, Sungguh orang ini telah berdusta dan mengada-ada atas nama Allah dengan dosa yang nyata, sungguh Allah telah mewajibkan setiap muslim untuk membenci orang-orang kafir, dan memfardlukan atasnya untuk memusuhi mereka, mengkafirkan mereka dan bara’ah dari mereka, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka. Oleh sebab itu takutlah pada Allah… takutlah pada Allah… pegang teguhlah hal itu… mudah-mudahan kalian bertemu dengan Rabb kalian, seraya kalian tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Dari Majmu’ah At Tauhid).