21 November 2010

Seribu Lebih Warga Kamerun Menjadi Mualaf



Uluran tangan yang diberikan Menteri Kesehatan Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz Al-Rabeeah, untuk mengoperasi bayi kembar siam asal Kamerun berbuah manis. Tak di sangka, suku asal kembar siam itu yang berada di sebuah desa di Kamerun tersentuh melihat keberhasilan operasi pemisahan kembar siam itu dan kemudian memilih untuk menjad mualaf.

Bayi kembar siam itu, Rahima dan Hamidah, menjalani operasi pemisahan pada April 2007. Diperkirakan sebanyak 1.100 warga suku yang berada di Desa Banky dan sekitarnya telah mengucapkan syahadat usai keberhasilan operasi tersebut. Hal itu disampaikan oleh seorang tokoh Muslim asal suku itu, Sultan Omar, saat bertemu Al-Rabeeah, di di Rumah Sakit Darurat Mina, beberapa hari lalu.

''Operasi yang dilakukan atas bantuan Al-Rabeeah telah membuat kepala suku dan seluruh warga suku saya, dan beberapa orang dari daerah lain di Kamerun memutuskan untuk memeluk Islam secara spontan dan tanpa tekanan apapun,'' ujar Sultan Omar seperti ditulis Arab News.

( Baca Selengkapnya )

Sejarah Kota Suci Al Quds Palistina



Kota Baitul Maqdis (Al Quds, Yerussalem) dan tanah Syam (sekarang adalah Suriah, Yordania, Palestina, Lebanon, Israel) mempunyai sejarah yang panjang sebagai tanah yang paling dipersengketakan di antara manusia di muka bumi. Itu tidak mengherankan, sebab Baitul Maqdis dan tanah Syam mempunyai kedudukan penting (significance) bagi semua umat manusia dan menjadi tanah utama yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah subhanahu wa ta'ala, sejak dahulu sampai Hari Kiamat nanti.

Bagi umat Islam khususnya, Baitul Maqdis dan tanah Syam –sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri Islam– mempunyai kedudukan strategis yang berkaitan langsung dengan agama Islam itu sendiri. Paling tidak terdapat 8 (delapan) kedudukan strategis Baitul Maqdis dan tanah Syam bagi umat Islam, yaitu sebagai Tanah wahyu dan kenabian, Tanah Isra’ dan Mi’raj, Tanah kiblat pertama, Tanah yang ditaklukkan tanpa perang, Tanah kesabaran dan jihad, Tanah yang dijanjikan, Tanah ibu kota Khilafah di masa depan, dan Tanah tempat semua manusia akan dikumpulkan.

15 November 2010

Perspektif Rasulullah dan Shahabat tentang Bencana Alam


Setidaknya dua kali gempa tercatat dalam riwayat hadits Nabi. Yang pertama di Mekah. Dan kedua di Madinah.
Pertama, Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Kuzaimah, ad-Daruquthni, dan lainnya dari Utsman bin Affan radliallohu 'anhu bahwa beliau berkata: “Apakah kalian tahu Rasulullah pernah berada di atas Gunung Tsabir di Mekah. Bersama beliau; Abu Bakar, Umar dan saya. Tiba-tiba gunung berguncang hingga bebatuannya berjatuhan. Maka Rasulullah menghentakkan kakinya dan berkata: Tenanglah Tsabir! Yang ada di atasmu tidak lain kecuali Nabi, Shiddiq dan dua orang Syahid.”

Kedua, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radliallohu 'anhu, beliau berkata: “Nabi naik ke Uhud bersamanya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tiba-tiba gunung berguncang. Maka Nabi menghentakkan kakinya dan berkata: Tenanglah Uhud! Yang ada di atasmu tiada lain kecuali Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid.”


Di antara pelajaran besar dalam dua riwayat di atas bahwa ternyata gunung tidak layak berguncang saat ada 4 manusia terbaik ada di atasnya. Nabi harus menghentakkan kaki dan mengeluarkan perintah kepada gunung untuk menghentikan guncangan tersebut.
Di sinilah pelajaran besarnya bagi kita sebagai analisa pertama tentang gempa. Bahwa keberadaan orang-orang shaleh di sebuah masyarakat membuat bumi tidak layak berguncang. Kriteria keshalehan sangat spesifik disebutkan dalam riwayat tersebut. Untuk kita, hanya tinggal dua pilihan mengingat sudah tidak ada lagi nabi. Yaitu: Shiddiq. Kriteria utama Abu Bakar adalah beriman tanpa ada rasa keraguan sedikit pun. Dan Syahid. Mereka yang meninggal fi sabilillah.

Jika manusia dengan dua kriteria itu masih banyak yang hidup di atas bumi, maka bumi tidak layak gempa. Sebaliknya, gempa terjadi manakala bumi telah sepi dari keberadaan orang-orang dengan keimanan tanpa ada kabut keraguan dan orang-orang yang meninggal fi sabilillah.

( Baca Selengkapnya )

Perjalanan Spiritual Pembantu Pendeta Menjadi Seorang Muslim

"Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk menyelamatkan seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun.

Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani."

Jalan untuk meraih cita-citanya sebagai pendeta atau pemimpin misionaris terbuka lebar, namun jalan yang terbentang itu justru membawanya untuk mengenal Islam. Sehingga ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan melepaskan semua ambisinya, meski pada saat itu ia sudah menjadi pembantu pendeta.

Dia adalah Abdullah DeLancey, seorang warga Kanada yang menceritakan perjalanannya menjadi seorang Muslim. "Dulu, saya adalah penganut Kristen Protestan. Keluarga saya membesarkan saya dalam ajaran Gereja Pantekosta, hingga saya dewasa dan saya memilih menjadi seorang jamaah Gereja Baptist yang fundamental," kata DeLancey mengawali ceritanya.

Menurutnya, sebagai seorang Kristen yang taat, kala itu dia kerap terlibat dengan berbagai aktivitas gereja seperti memberikan khotbah pada sekolah minggu dan kegiatan-kegiatan lainnya. "Saya akhirnya terpilih sebagai pembantu pendeta. Saya benar-benar ingin mengabdi lebih banyak lagi pada Tuhan dan memutuskan untuk mengejar karir sampai menjadi seorang Pendeta," tutur DeLancey yang kini bekerja memberikan pelayanan pada para pasien di sebuah rumah sakit lokal.

( Baca Selengkapnya )

14 November 2010

Pelaksanaan Sholat 'Iedul Adha 1431 H

Jika kondisi lapangan depan Masjid kering dan memungkinkan untuk dijadikan tempat sholat 'Ied, maka pelaksanaan sholat 'Iedul Adha1431 H insya Allah akan diselenggarakan di Lapangan depan Masjid Bachir Ahmad:

Hari / Tanggal : Selasa, 10 Dzulhijjah 1431 H / 16 Nopember 2010
Waktu : pkl. 06 45 sd selesai
Khatib / Imam : Ustadz Ngatrichan

Adapun pelaksanaan ibadah qurban, insya Allah akan diselenggarakan hari Rabu, 11 Dzulhijjah 1431 H / 17 Nopember 2010.

Dewan Kemakmuran Masjid Bachir Ahmad menerima amanah penitipan, pemotongan dan pendistribusian hewan Qurban, baik sapi ataupun kambing. Bagi jama'ah yang berniat melaksanakannnya, silahkan menghubungi ustad Ngatrichan ( HP 083 884 391 48 )

Semoga Allah subhanahu wa ta'alaa menerima amal ibadah shalat dan ibadah qurban kita .... Aamiin

13 November 2010

Syari'at Shiyam (Puasa) Arafah



Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.[1]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قوله صلى الله عليه وسلم: "صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده" معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر،
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata : Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil” [Syarh Shahih Muslim, 8/50-51].
ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilal penduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah

12 November 2010

Memilih Hewan Qurban



Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ
“Supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (Al-Hajj: 28)


Juga firman-Nya:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34)


Dan yang paling afdhal menurut jumhur ulama adalah unta (untuk satu orang), kemudian sapi (untuk satu orang), lalu kambing (domba lebih utama daripada kambing jawa), lalu berserikat pada seekor unta, lalu berserikat pada seekor sapi. Alasan mereka adalah karena u
nta lebih besar daripada sapi, dan sapi lebih besar daripada kambing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)


( Baca Selengkapnya )

Syari’at Ibadah Qurban

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya,
النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban.


Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan: “Tidak samar lagi bahwa menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat
وَانْحَرْ.”

Juga keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)


Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”

Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:


إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ


“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)


(Baca Selengkapnya)

09 November 2010

Payung Raksasa Naungi Jamarat Lantai 6



Payung-payung raksasa berdiri kokoh di lantai 6 jembatan jamarat, tempat melontarnya jumroh, di Mina. Inilah yang terbaru dari pembangunan di kawasan jamarat tahun 2010 ini. Payung raksasa tersebut menyerupai tenda besar yang berbentuk melingkar dengan pucuknya yang terbuka dan memperlihatkan rangka besi-besinya.

Sejumlah pekerja dari berbagai negara, Senin (8/11/2010) masih melakukan proses finishing payung tersebut. Mereka mengecek rangka-rangkanya dengan tangga mesin. Sebagian pekerja lainnya melakukan bersih-bersih. "Kemarin baru diresmikan. Yang pasang payung itu kita, orang Indonesia," kata Mahrus, asal Bojonegoro, Jawa Timur, yang bekerja di kawasan Jamarat, Senin. Menurut Mahrus, ada 50 warga negara Indonesia (WNI) yang memasang payung payung jamarat tersebut. "Kita tahun ini bersih-bersih sama pasang payung. Kalau gedung jamarat 4 tingkat ini sudah sejak tahun lalu," kata Mahrus.

Gedung jamarat terdiri dari empat tingkat yang mempunyai 6 lantai. Lantai keenam tahun lalu belum dipasangi payung. Sementara lima tahun lalu, kata ketua rombongan KBIH Alkautsar Cirebon, Syarif Abu Bakar, jamarat hanya ada satu lantai.
Jamarat dibuat enam lantai sejak tiga tahun lalu. Selain bertingkat, jamarat juga diperlebar. Tiga tahun lalu, lebar jamarat hanya tiga meter, tapi sekarang lebar jamarat mencapai belasan meter. Selain itu juga pelemparan diatur dalam satu arah.
"Pokoknya jamaah tidak perlu khawatir berlebihan akan kena lemparan batu dan desak-desakan. Sekarang lebih tertib dan aman," jelas Syarif.

Cara masuk jamarat juga diatur sedemikian rupa agar tidak berebut. Begitu memasuki kawasan Jamarat di Mina, para jamaah setelah melalui terowongan para jamaah akan terbagi dalam beberapa jalur atau gate masuk.

( Baca Selengkapnya )

08 November 2010

Penetapan Hari Raya, Idul Adha 16 November 2010

Pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha pada 16 November. Sementara itu, Kementerian Agama RI setelah menggelar sidang istbat menetapkan awal bulan Dzulhijjah 1431 Hijriyah, adalah hari Senin, 8 Nopember 2010, sehingga perayaan hari raya Idul Adha jatuh pada hari Rabu, 17 Nopember 2010.

Kantor berita Arab Saudi, SPA, menyebutkan, Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh 16 November. Penetapan Idul Adha itu dilakukan setelah otoritas berwenang di Saudi melakukan pengamatan bulan pada Sabtu (6/11) malam yang diperkuat dengan hasil perhitungan para astronom resmi di Saudi.

Dengan demikian, sekitar 1,5 juta jamaah calon haji dari seluruh dunia akan memulai ritual haji diawali dengan mabit di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah 1431 H atau 14 November 2010. Saat ini sebagian besar jamaah Indonesia telah berada di Mekkah untuk menunggu hari puncak haji tersebut.

Hasil Sidang itsbat dipimpin Dirjen Binmas Islam Nasaruddin Umar bertempat di gedung Kementerian Agama, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/11/2010), menetapkan Idul Adha jatuh hari Rabu, 17 Nopember 2010. Nasarudin didampingi oleh Sekjen Bahrul Hayat dan Umar Shihab dari MUI. Hadir juga sejumlah ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Jamiyatul Wasliyah, Dewan Masjid Indonesia, dan Syarikat Islam.

Padahal pelaksanaan wukuf haji tahun ini telah ditetapkan pada hari Senin, 15 Nopember 2010. Putusan pemerintah ini menimbulkan 2 subhat (polemik) bagi sebagian ummat Islam, (1) berkaitan dengan pelaksanaan shiyamu 'Arafah, apakah hari Senin atau hari Selasa, kalo hari Selasa mereka khawatir, sudah masuk 10 Dzulhijjah yang diharamkan melakukan shiyam (2) berkaitan dengan pelaksanaan 'ibadah SHolat itu sendiri, karena pedoman ibadah haji adalah pelaksanaan wukuf di Arafah, bukan ru'yatul hilal, apalagi hisab yang sangat rentan dengan galat (error) perhitungan.

Dugaan adanya potensi perbedaan Perayaan Idul Adha tahun ini, mulai muncul, tatkala pemerintah Di kalender menetapkan usia penuh (30 hari) bulan Dzulhijjah 1431 H, , artinya 1 Dzulhijjah jatuh 8 November, sehingga Idul Adha jatuh Rabu 17 November. Sedangkan PP Muhammadiyah jauh hari telah mengeluarkan maklumat nomor 05/MLM/I.0/E/2010 tanggal 16 Juli 2010 yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr HM Din Syamsuddin MA dan Sekretaris Umum Dr H Agung Danarto MAg yang menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh 7 November dan Idul Adha 10 Dzulhijjah jatuh 16 November.

(gun/nrl)

07 November 2010

Kaum Liberal Tolak Kaitkan Bencana Dengan Adzab Allah



Di saat bencana datang bertubi-tubi menimpa negeri dan umat Islam mulai intropeksi diri atas teguran Ilahi, kaum liberal malah menolak mengaitkan bencana dengan adzab Allah SUBHANAHU WA TA’ALAA. Menurut mereka seluruh bencana alam yang terjadi hanyalah proses alam saja. Masya Allah, keterlaluan...!


Dalam diskusi bertajuk "Politisasi Bencana" yang digelar oleh Serikat Jaringan untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta, Jumat (5/11/2010), Ulil Abshar abdalla, tokoh kaum liberal menolak jika bencana yang terjadi adalah adzab dari Allah Subhanahu wa ta'alaa. Menurutnya telah terjadi salah penafsiran terhadap kitab suci.

"Ada semacam template di kitab suci tentang bencana. Misalnya, ada cerita saat manusia membangkang kepada Tuhan kemudian Tuhan menghancurkan seluruh muka bumi. Nah, waktu sekarang ada bencana, para tokoh ini langsung mengambil template itu. Menurut saya, jangan dihubung-hubungkan, ini proses alam saja."

"Apa salah Yogyakarta, di sana ada keraton, Muhamadiyah, pesantren juga banyak. Masyarakat Yogya sangat beragama, tetapi dibilang kena azab Tuhan. Ini, kan menyakiti para korban. Mereka sudah tertimpa bencana malah dituduh menerima azab pula."

Tidak jauh berbeda dengan Ulil, politikus PDI-P, Budiman Sudjatmiko, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu, berharap agar masyarakat termasuk pejabat melihat suatu bencana dengan rasio. Menurutnya, bencana hanya merupakan proses alam, tidak berhubungan dengan azab Tuhan.

"Ini hanya proses yang dialami bumi saja, seperti manusia yang tumbuh, kena sakit kepala atau flu. Hanya seperti itu saja. Maka jadikan manusia sebagai subyek bencana, bukan obyek yang berdosa kemudian diazabkan," ungkapnya.

Adzab Umum Tidak Hanya Menimpa Orang Dzalim

Tidak aneh jika kaum liberal menolak bencana dikaitkan dengan adzab Allah Subhanahu wa ta'alaa, itulah kekhasan pola pandang dan fikir mereka tentang kehidupan, yakni sekuler atau berusaha memisahkan antara dunia dan akhirat. Dengan demikian, mereka selalu melepaskan dan meninggalkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta'alaa baik Al Qur'an maupun hadits-hadits di dalam berkehidupan dan selalu mengedepankan rasio atau akal sehat semata.

Mereka lupa jika kemaksiatan telah merajalela dan amar ma'ruf nahi munkar tidak lagi dijalankan, maka Allah Subhanahu wa ta'alaa akan menurunkan siksa atau adzabnya tidak hanya kepada orang-orang yang melakukan kedzoliman saja diantara mereka, akan tetapi secara umum, tidak lagi pilih-pilih.

Allah Subhanahu wa ta'alaa berfirman:

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al Anfal (8) : 25)

Gempa Di Masa Nabi Shollalohu ‘alaihi wasallam & Sahabat

Ustadz Ahmad Syahirul Alim, Lc menulis :

Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wasallam lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, "Tenanglah ... belum datang saatnya bagimu.'' Lalu, Nabi Shollalohu ‘alaihi wasallam menoleh ke arah para sahabat dan berkata, "Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian ... maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!"

Sepertinya, Umar bin Khattab Radliallohu ‘anhu mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, "Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!"

Seorang dengan ketajaman mata bashirah seperti Umar bin Khattab bisa, merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.

Umar pun mengingatkan kaum Muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah. Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, "Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, 'Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'.''

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya."

"Allah berfirman, 'Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan tobat ataupun zakat). Lalu, dia mengingat nama Tuhannya, lalu ia sembahyang." (QS Al-A'laa [87]:14-15). Lalu katakanlah apa yang diucapkan Adam ‘Alaihis salam (saat terusir dari surga), 'Ya Rabb kami, sesungguhnya kami menzalimi diri kami dan jika Engkau tak jua ampuni dan menyayangi kami, niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi."

"Dan katakan (pula) apa yang dikatakan Nuh ‘Alaihis salam, 'Jika Engkau tak mengampuniku dan merahmatiku, aku sungguh orang yang merugi'. Dan katakanlah doa Yunus ‘Alaihis salam, 'La ilaha illa anta, Subhanaka, Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim'."

Jika saja kedua Umar ada bersama kita, mereka tentu akan marah dan menegur dengan keras, karena rentetan "teguran" Allah itu tidak kita hiraukan bahkan cenderung diabaikan. Maka, sebelum Allah menegur kita lebih keras, inilah saatnya kita menjawab teguran-Nya. Labbaika Ya Allah, kami kembali kepada-Mu.

Jadi, masihkah menolak untuk tobat dan kembali kepangkuan syariat Islam?

Wallahu'alam bis showab! (M Fachry/arrahmah.com)


05 November 2010

Renungan Jum'at

Dalam kesempatan jum’at kali ini, renungan berwasiat tentang shabar dan semangat berkurban. Wasiat kepada kesabaran adalah tingkatan tertinggi dalam mengamalkan ilmu (Al Islam), sebagaimana difirmankan pada surat ( Al-‘Ashr : 1 – 3 )

Surat tsb mengisyaratkan bahwa kesuksesan dapat diraih melalui 4 tahapan, yaitu (1) beriman kepada Allah dengan benar, (2) membuktikan iman dengan amal perbuatan yang ikhlash (3) berwasiat (menyampaikan) ilmu (al haq), yang telah diyakini dan dibuktikan (4) berwasiat untuk shabar dalam menjalaninya, serta sabar mengatasi gangguan dan kesulitan yang dihadapinya.

Manusia, baik yang beriman maupun yang kafir kepada Allah, dalam perjalanan hidupnya ditakdirkan untuk membawa beban, baik dalam system kemanusiaan maupun system ilahiyah. Sebagai mhs anda telah menanggung beban, yaitu wajib belajar 12 tahun, menyelesaikan pelajaran-2 di SD hingga SMA, dan terus berlanjut hingga kini, anda terus dibebani kewajiban menyelesaikan studi, agar dapat dinyatakan lulus. Demikianpun dengan karyawan, yang menanggung beban harus melaksanakan tugas-2 nya untuk memuaskan penggunanya.

Terkadang beban tersebut berat, tidak enak dan sulit dilaksanakan, tetapi harus diselesaikan. Disinilah peran SABAR. Maka seorang yang cerdas harus mencari upaya-2 optimal, untuk mengatasi kesulitan dan beban berat tersebut. Sabar adalah upaya aktif, cerdas, gigih dan tegar, untuk mengatasi atau mencari solusi bagi kesulitan-2 dan beban-2 hidup yang dihadapi.

Sebagai tamsil (analogi), seorang yang sabar diibaratkan seorang yang terjebak di dalam lembah/jurang yang sangat dalam, pada tebing-2 nya yang terjal terdapat beberapa kesulitan, spt binatang buas, binatang berbisa, batu yang rapuh/licin, dsb. Maka dia akan berfikir cerdas, menghimpun semua pengetahuannya, untuk dapat mendaki klereng jurang, selamat dan lolos dari jebakan mematikan tadi.

Akan tetapi tidak setiap upaya sabar pasti akan menghasilkan keberuntungan langsung saat itu juga. Ada kalanya kita sudah maksimal dalam berdaya upaya, tapi tetap saja gagal. Disinilah kita harus sadar, bahwa kekuasaan mutlak disisi Allah Subhanahu Wa Ta'alaa. Manusia hanya wajib berikhtiar, Allahlah yang menentukan. Kita harus menerimanya, sebagai wujud iman kita kepada taqdir yang telah ditetapkan oleh Allah ubhanahu Wa Ta'alaa. Pahala atau keberuntungan yang dijanjikan Allah terhadap orang yang berikhtiar dan sabar tapi tetap gagal, dan dia menerima dengan senang hati, jauh lebih besar dibandingkan pahala bagi orang yang sabar kemudian berhasil mencapai tujuannya.

Jadi kewajiban kita, orang beriman, adalah bersabar menanggung beban tanggung jawab yang diamanahkan kepada kita, kemudian tentang hasilnya kita pasrah (bertawakkal) kepada Allah ubhanahu Wa Ta'alaa.

Firman Allah ubhanahu Wa Ta'alaa

Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang me-masrahkan dirinya

Setiap manusia dan jin yang sudah dewasa, dibebani oleh Allah untuk beribadah kepadaNYA, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an

“Dan tidaklah AKU jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKU”

Orang yang benar imannya akan bersabar menanggung beban ini, karena pada umumnya hawa nafsu (keinginan) manusia, cenderung mengingkari kewajiban ini. Allah ubhanahu Wa Ta'alaaberfirman:

“ Dan akan Kami uji kalian dengan ketakutan (thd bahaya, bencana, dsb), dan kelaparan, kehilangan harta benda dan kehilangan jiwa, dan berkurangnya buah-buahan, maka berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”.

Orang beriman akan menanggung beban untuk tetap beribadah kepada Allah secara ikhlash, hingga menemui ajalnya. Kemudian akan memetik buah dari kesabarannya di dunia, dengan kenikmatan-2 yang disediakan Allah mulai dari alam qubur, alam mahsyar hingga masuk surge dan kekal di dalamnya. Setelah meninggal seorang beriman tidak perlu sabar lagi, karena tidak ada beban-2 dan kesulitan-2 yang dia alami.

Sebaliknya orang-2 kafir, yang tidak beriman kepada Allah ubhanahu Wa Ta'alaa, di dunia dia tidak mau (bahkan mengingkari) bersabar dalam beribadah kepada Allah secara benar. Maka kematian merupakan awal dari kesabaran panjang tanpa akhir, dia harus menanggung siksa dan adzab mulai dari kuburnya, alam mahsyar, hingga dikekalkan di neraka. Firman Alloh ubhanahu Wa Ta'alaa: ( 2: 175)

“ Mereka itulah membeli kesesatan dengan hidayah, dan membeli adzab dengan ampunan. Alangkah sabarnya mereka dalam api neraka.

Hidup di dunia ini sangat singkat, dalam hitungan akhirat tidak sampai 1/10 hari (karena 1 hari akhirat itu setara dengan 1000 tahun di dunia), oleh karena itu janganlah kita terpedaya, untuk menukar iman kita dengan kekufuran, karena kalau hal itu dilakukan, akan menjadikan penyesalan selama-lamanya ….. na’udzubillahi min dzaalik.

Kemudian wasiat yang kedua adalah tentang semangat ber-qurban. Semangat ber-qurban memiliki 3 makna:

1) Berqurban pada intinya adalah semangat bertauhid, semangat pengabdian dan penyembahan hanya kepada Allah Azza Wajalla. Semangat inilah yang memberi arti pada semua bentuk ibadah dan pengamalan keislaman kita. Tanpa semangat bertauhid, maka semua ibadah dan pengamalan itu menjadi tidak berarti.

Semangat bertauhid ini pula yang menuntut para pengusungnya untuk memutuskan segala rantai dan belenggu kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman, bapak kita Nabiyullah Ibrahim Alaihisshalatu Wassalam yang menjadi contoh/teladan,

“Seseungguhnya telah ada suri tauladan yang yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia: ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ’’Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah ….’’ (QS. Al Mumtahanah: 4)

Tauhid tidak akan terwujud kecuali dengan meninggalkan segala macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah. Dan jika hal itu dapat direalisasikan, maka seperti kata Allah dalam Al Qur’an,

”… Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thogut (segala yang disembah selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi maha Mengetahui.” (QS.Al Baqarah:256)

Kekhawatiran dan kewaspadaan terhadap kesyirikan adalah suatu yang mutlak ada pada diri setiap orang beriman. Karena virus-virus kesyirikan inilah yang paling berbahaya dalam kehidupan seorang anak manusia. Menyadari hal ini, Ibrahim Alaihisshalatu Wassalam, dan sekali lagi Ibrahim, pernah berdoa dan doa itu diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an, firman-Nya,

‘’…dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala’’ (QS. Ibrahim: 35)

Kesyirikan, dalam berbagai bentuk dan ragamnya, harus kita jauhi. Kita tutup segala celah yang bisa mengantar kepadanya. Zaman dahulu berhala (thoghut) dalam bentuk benda mati, namun pada ummat nabi Muhammad SAW, disamping benda mati, juga berupa manusia, yang ingin/berambisi agar orang-2 tunduk dan patuh beribadah kepadanya.

Shahabat ’Adi bin Hatim Rodliallohu 'Anhu, sebelum masuk Islam adalah seorang Nasrani, ketika rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam membacakan ayat :

”Mereka Yahudi dan Nashrani) menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan, selain Allah” (9:31)

Beliau bertanya kritis, ”Wahai rasulullah dulu kami tidak menyembah pendeta kami:, kemudian rasulullah bertanya kepadanya: ”Bukankah jika pendeta itu menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, engkaupun akan mengikutinya ?” maka Adi membenarkannya, kemudian raulullah bersabda ”Ya begitulah yang dinamakan ibadah”

Hak membuat syariat, menentukan halal dan haram adalah mutlak milik Allah, ’ulama hanyalah sebagai penyampai dan pengamal. Tidak ada hak sedikitpun untuk membuat fatwa/ hukum yang menyelisihi hukum Allah (AL Qur’an dan As-sunnah).

2) Semangat ber-qurban juga sejatinya harus menjadi pendorong yang paling kuat untuk semakin dekat dengan Allah Azza Wajalla. Arti kata Qurban sendiri adalah “sesuatu yang mendekatkan”

Untuk semakin dengan dekat dengan Allah Azza Wajalla membutuhkan ‘’pengorbanan’’ akan banyak perkara yang justru hawa nafsu kita cenderung kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

“Al Jannah (surga itu) dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disenangi (hawa nafsu), dan An Naar (neraka itu) dikelilingi oleh syahwat. (HR. Bukhari-Muslim)

Kadang kita harus memilih, antara adat kebiasaan yang bertentangan dengan syari’at Islam dengan ajaran syari’at yang mulia ini. Kadang kita harus memilih, antara pergaulan bebas yang menyenangkan hawa nafsu kita dengan sistem akhlak Islami.

Pilihan itu akan semakin sulit manakala kita tidak memiliki semangat berkorban. Semangat mengorbankan hawa nafsu dan kecenderungan negatif yang mungkin secara lahiriah menyenangkan, namun sesungguhnya, ia adalah kesengsaraan yang sejati.

3) Semangat ber-qurban, juga menjadi semangat pembebasan dari belenggu harta dan materi.

Benar, bahwa harta dan materi perlu dan sebagai penunjang kehidupan kita. Namun, jangan sampai harta dan materi itu menguasai hati dan qolbu kita. Harta dan materi seharusnya tergenggam pada tangan kita, dan bukannya mencengkram dan menguasai hati kita.

Ketahuilah, wahai kaum Muslimin yang berbahagia, bahwa harta sesungguhnya yang kita miliki adalah yang kita ”korbankan” di jalan Allah. Allah masih memberi peluang bagi kita untuk berinfak, memberi sebagian dari apa yang Allah karuniakan pada mereka.

“Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? (Yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian megetahuinya.” (QS. Ash Shaf: 10-11)

Semangat inilah yang menggelora pada jiwa para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Sehingga jika mereka tidak memiliki harta untuk disumbangkan dalam jihad menegakkan dienullah, mereka bersedih hati.

“… mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang bisa mereka infakkan.’’ (QS. At Taubah: 92)