04 Februari 2008

Banjir Multi DImensi : Musibah atau Adzab ?



Derita bangsa Indonesia seakan tak pernah usai. Musibah demi musibah terus mengusik kedamaian negeri ini. Meski banyak retorika dibangun untuk mengatasi hal ini, namun, seringkali tidak dibarengi dengan tindakan dan kebijakan nyata. Akibatnya peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa lagi bangga dengan julukan Jamrud Khatulistiwa, karena pada kenyataannya, negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Bencana struktural, bencana alam maupun bencana kemanusiaan terus terjadi. Fenomena banjir bandang dan tanah longsor adalah suatu fenomena alam yang jamak di muka bumi ini.

Kita sangat sedih bila melihat kondisi bangsa Indonesia yang terus dirundung bencana. Akan tetapi seharusnya kita lebih sedih ketika bangsa ini tidak mampu mengambil pelajaran dari rentetean musibah yang mendera. Tidak ada peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa ada makna yang menyertainya. Begitu juga banjir yang melanda kota Jakarta dan sekitarnya, meski menyisakan duka yang mendalam, namun dibalik musibah ini pasti terdapat hikmah yang pantas untuk dijadikan pelajaran. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan silih bergantinya malam dan siang sungguh terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah SWT) bagi orang yang berakal (QS. Ali Imran: 190)

Diantara hikmah yang bisa kita ambil dari musibah banjir tersebut adalah: pertama, banjir merupakan teguran bagi bangsa Indonesia agar segera bangun dari tidur dan mimpi mereka, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas realitas kongkrit bahwa banyak hal yang harus diperbaiki, dirobah, atau bahkan dibongkar sama sekali dalam penyelenggaraan negara. Masih banyak ketimpangan yang belum tertutupi dalam perjalanan negeri ini. Kemaksiatan yang dilegalkan, tidak tegasnya pemerintah dalam menindak kejahatan, kasus korupsi yaang tak kunjung hilang adalah contoh dari ketimpangan yang masih lekat dalam kehidupan.

Allah SWT sudah memberikan peringatan, "Dan kalau mereka bersungguh-sungguh menegakkan (menjalankan perintah-perintah Allah dalam) Taurat dan Injil dan apa yang diturunkan kepada mereka dari robb mereka (Al-Quran), niscaya mereka akan makan rezeki (yang mewah) dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka (bumi). Di antara mereka ada sepuak yang adil dan kebanyakan dari mereka, buruk keji amal perbuatannya. (QS. Al Maidah: 66)

Kedua, banjir merupakan peringatan bagi masyarakat agar lebih kritis dan lebih dewasa dalam menyikapi setiap langkah pemerintah maupun pihak swasta. Karena pada kenyataanya masih banyak kebijakan yang merugikan negara tapi didukung rakyat, gara-gara ada keuntungan yang mereka dapat. Setelah banjir ini diharapkan rakyat mampu berpikir jauh kedepan, lebih mendahulukan kepentingan umat dari pada kesenangan pribadi yang hanya sebentar. Karena ketika musibah datang, maka semua orang akan merasakan akibatnya. "Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal: 25)

Ketiga, banjir besar ini mengajarkan berbagai bentuk solidaritas yang harus lahir secara spontan di tengah kehidupan masyarakat. Kondisi persatuan bangsa kita masih rapuh. Semangat kedaerahan, kesukuan dan keberagamaan yang melampui batas masih nampak mewarnai kehidupan. Konflik Poso yang kembali memanas, Aksi Gerakan Aceh Merdeka di Serambi Mekah yang belum jelas penyelesainnya serta berbagai tindak perampokan, pemerkosaan dan penipuan masih berjalan. Tidaklah mungkin kehidupan berbangsa akan sejahtera bila semangat permusuhan belum bisa dihilangkan. "Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal:46)

Apakah musibah ini memang takdir Allah SWT, ataukah akibat kesalahan manusia? Apakah kita semua harus menerima dengan pasrah saja, terhadap musibah yang memakan begitu banyak korban, ataukah harus ikut berbuat sesuatu untuk mengatasinya? Lalu, kalau sudah begitu, apa sajakah kekurangan (kesalahan) yang telah terjadi, dan siapa pula yang harus bertanggungjawab? Banjir. Ya, isu yang paling “anyar” di negeri yang katanya “gemah ripah, loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”. Akhirnya, opini menyebar di mana-mana: di internet, radio, tv, surat-surat kabar, bahkan dari mulut ke mulut. Semuanya membicarakan “banjir”.

Tanggapan untuk banjir pun beragam. Ada yang menyatakan bahwa itu “cobaan”, ada pula yang berpikiran bahwa itu adalah “musibah”. Hemat saya, bisa saja itu menjadi “persekot”, atau “ujian” --mungkin.

Jika itu cobaan, mungkin tepat bagi orang-orang beriman. Jika cobaan, mungkin kita selama ini kufur. Hutan yang tidak boleh ditebang, ditebangi secara diam-diam. Makanya ada istilah hutan gundul, he he. Di sekeliling hutan memang “super-lebat”, tapi di tengah-tengah hutan “botak”-nya gak karu-karuan. Luar biasa! Penebang liar memang tak kenal hukum alam, yang ada di kepalanya adalah “doku” alias duit. Mungkin alam mulai enggan, berdialog dengan manusia, karena manusia sudah terlalu keji.

Bisa jadi, banjir datang karena kita tidak lagi mengindahkan norma “kebersihan” yang diajarkan Nabi Muhammad SAW --bagi umat Islam. Seluruh umat Islam hafal bahwa “al-Nazhâfatu mina’l-Imân” (Kebersihan adalah sebagian dari iman). Tapi siapa sekarang yang perduli akan hal itu. Lihat lah got-got dan selokan-selokan di daerah yang ‘agak kekota-kotaan’. Semuanya mampat oleh sampah, baik plastik, kertas, maupun sampah yang lainnya. Tentu saja got marah, karena got bukan tempat sampah, melainkan untuk mengalirkan air. Apapun namanya, jika sudah tidak berjalan sesuai fungsinya, akan “error” bahkan “hancur”.

Akibat dari banjir pun bermacam-macam. Ada yang menjadi “tuna-wisma” --ini yang sudah pasti--, ada yang kena penyakit muntaber, ada yang kena diare, dan lain-lain. Bahkan menurut laporan Republika, kerugian yang ditimbulkan banjir ini mencapai 400 juta dollar AS (http://republika.co.id/Online_detail.asp?id=282553&kat_id=21). Luar biasa!

Anehnya, rakyat kita masih saja saling tuduh. Ada yang menuduh bahwa masyarakat tidak belajar dari banjir besar tahun 2002. Bisa jadi, kita kurang belajar. Tapi, saya yakin semuanya berpikiran bahwa tahun 2002 itu adalah akhir dari “banjir besar”. Kalau masyarakat tahu bahwa 2007 akan banjir, mungkin sudah pada “lari” pindah ke tempat lain.

Banjir Multi dimensi

Ini yang ingin saya sampikan. Kita bukan hanya banjir air. Indonesia punya multi-banjir yang harus benar-benar diantisipasi. Banjir kebudayaan asing. Indonesia Idol, mungkin salah satu produk budaya Barat yang sudah membudaya, bahkan menggurita. Banjir budaya Barat ini sangat mengerikan, jika dibiarkan. Lihatlah, Indonesia sudah biasa dengan kontes waria. Bisa jadi, tidak lama lagi, Indonesia akan mengesahkan pula perkawinan sesama jenis. Bukankah mahasiswa IAIN --yang notabene beragama Islam--telah melegalkan lewat buku “Indahnya Perkawinan Sesama Jenis”. Wwooow..rock bro!!!

Di kota-kota besar gaya hidup permissifisme sudah membanjir ‘kamar-kamar’ para mahasiswa. Budaya kumpul kebo, free-sex, hamil di luar nikah --yang semuanya budaya asing-- sudah biasa terjadi. Bahkan, kalau tidak begitu, tidak maju. Tuh...banjir dah. Belum lagi banjir “liberalisme”, “sekularisme”, “pluralisme”, dan “isme-isme” yang lain membanjiri otak-otak para remaja. Kalau tidak liberal tidak keren, kalau belum sekular belum beken, bahkan kalau tidak plural tidak modern. Wah-wah, apa-apaan ini.

Akh...saya juga tidak ingin komentar panjang-panjang. Takut dikira menuduh juga. Padahal ia, sudah menuduh sejak awal. Kata orang tua, “Ambil hikmahnya saja.” Benar. Mari kira raup hikmah banjir ini. Yups. Tapi apa ia “liberalisme”, “sekularisme”, dan “pluralisme” dibiarkan. Jangan atuh. Hikmah apa yang bakal diambil dari “isme-isme” asing dan destruktif itu. Hukz...Hati-hati, “Sedia payung sebelum hujan yuk!” (Abbas el-Akkad, 14 Februari 2007).