23 November 2007

Peringatan Allah melalui Bencana

“Dan apa yang menimpa kamu dari musibah, maka disebabkan usaha tanganmu, dan Dia memaafkan banyak (kesalahan-kesalahan kamu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari musibah itu) di bumi, dan bagi kamu tidak ada pelindung dan penolong selain Allah.” (QS: Asy-Syuura 31)

Mukaddimah

Ali ra mengatakan, maukah kalian aku beritahukan tentang satu ayat terbaik yang ada dalam kitab Allah Azza wa Jalla? Beliau kemudian menyampaikan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku, “Akan aku jelaskan kepadamu wahai Ali, sesungguhnya makna firman Allah “Dan apa saja musibah dst” ialah bahwa musibah yang menimpamu, baik berupa sakit atau hukuman atau bencana yang terjadi di dunia ini, tidak lain adalah disebabkan oleh ulah perbuatanmu sendiri!

Hasan al-Bashri mengatakan, “Ketika turun ayat ini, Rasulullah saw bersabda: `Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bagian tubuh yang tergores oleh dahan, kaki yang terpeleset, dan keluarnya keringat dingin, semua itu adalah disebabkan oleh adanya dosa. Dan apa yang diampuni Allah jauh lebih banyak lagi.

Bencana di mana-mana

Sejak dahulu kala manusia sudah mengenal bencana alam, baik berupa banjir, tanah longsor, angin puyuh, gunung meletus, dan berbagai bencana alam lainnya. Al Qur'an sendiri telah mencatat beberapa bencana alam yang berskala besar yang pernah terjadi di permukaan bumi. Salah satu bencana yang monumental adalah banjir yang ditimpakan kepada kaumnya Nabi Nuh, sehingga tidak menyisakan satupun di antara mereka kecuali yang menumpang di kapalnya Nabi Nuh saja.

Al Qur'an juga mencatat bencana yang ditimpakan kepada bangsa-bangsa besar yang pernah berjaya di muka bumi, seperti bangsa Aad, Iram, Tsamud, dan Fir'aun. Mereka pada mulanya adalah bangsa-bangsa besar yang memiliki budaya dan tehnologi yang tinggi. Akan tetapi karena kecongkakannya, mereka dihancur leburkan oleh Allah swt sehingga tidak ada lagi peninggalan mereka kecuali puing-puingnya semata.

Kini, ketika perkembangan ilmu dan tehnologi telah menpacai puncaknya, bencana alam masih saja belum bisa diatasi manusia. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Bencana alam datang silih berganti dengan skala yang lebih besar lagi. Manusia dengan ilmu dan tehnologinya tak akan mampu berbuat apa-apa jika Allah sudah menghendakinya.

Pesawat terbang yang dioperasikan dengan tehnologi canggih, yang sistem pengendaliannya serba komputer, ternyata masih juga sering jatuh. Ada yang menabrak gunung, bergeser dari landasan pacu, meledak di udara, kebakaran, dan macam-macam lagi penyebabnya. Demikian pula musibah yang terjadi atas kapal laut, kereta api, dan alat transportasi lainnya. Adapun kecelakaan atas kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalanan sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Setiap hari jalan raya selalu meminta korban. Sesekali korbannya mencapai puluhan hingga ratusan orang.

Sebagai khalifah, sewajarnya jika manusia berusaha untuk mengatasi bencana dan musibah, setidak-tidaknya meminimalkan jatuhnya korban. Berbagai alat terhnologi diciptakan, berbagai riset dan penelitian dilakukan, akan tetapi dalam kenyataannya bencana dan musibah itu selalu lebih canggih di atas segala tehnologi manusia. Dari hari ke hari bencana dan musibah itu semakin dahsyat dan menelan banyak korban.

Walaupun benar bencana dan musibah itu semua datangnya dari allah semata, namun manusia pun turut punya andil dalam mendatangkannya, seperti dikatakan dalam ayat di atas “Dan apa yang menimpamu dari musibah, maka disebabkan usaha tanganmu”. Banjir dan tanah longsor terjadi karena penggundulan hutan oleh tangan manusia. Begitu pula dengan kebakaran hutan, bahkan kecelakaan mobil dan pesawat pun tak lepas dari peran tangan manusia. Dari waktu ke waktu, usaha tangan-tangan manusia ini akan semakin hebat merusak bumi, sehingga bencana yang ditimbulkannya pun semakin besar pula.

Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, “Pada akhir (zaman) ummat ini akan terjadi bencana ditenggelamkan ke tanah, diubah rupanya dan berbagai fitnah.” Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kami akan turut binasa sedang di antara kami masih terdapat orang-orang yang shaleh ?” Rasul pun menjawab, “Ya, kalau kejahatan muncul dimana-mana. (HR Imam At Tirmidzi)

Mengerikan benar kenyataan ini, yang disebabkan oleh besarnya sebab-sebab terjadinya musibah itu. Dalam hadis lain juga disebutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kamu menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, atau Allah nyaris akan menurunkan azab-Nya kepadamu, kemudian kamu berdo'a kepada-Nya namun Dia tidak berkenan memenuhi (do'a)mu.”

Ternyata kehadiran orang shaleh semata belumlah dirasa cukup jika tidak dilengkapi dengan perbuatan kepedulian kepada orang lain, lingkungan dan masyarakatnya. Maka, perbuataan amar ma'ruf nahi munkar pun selanjutnya dijadikan standar penilaian. Dimana jika perbuatan ini sudah dihilangkan, maka akan memudahkan turunnya azab Allah kepada suatu bangsa.

Jarir bin Abdullah pun pernah menceritakan hadis Nabi saw seperti berikut, “Apabila di tengah-tengah suatu kaum terdapat seorang laki-laki yang suka melakukan perbuatan maksiat dan mereka sebenarnya sanggup untuk menghentikan perbuatan laki-laki tersebut namun mereka enggan menghentikannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada mereka sebelum mereka mati.” (HR Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Sementara Jabir pun menceritakan sabda serupa dari Rasulullah saw, “Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung memberikan wahyu kepada Jibril untuk membalikkan kota Madinah begini dan begini. Jibril berkata, `Ya Tuhanku, sesungguhnya di tengah-tengah mereka (penduduk Madinah) masih terdapat hamba-Mu si fulan yang tak pernah berbuat maksiat kepada-Mu barang sejenak pun.' Allah berfirman, `Balikkanlah kota Madinah atas laki-laki tersebut dan juga atas mereka. Sesungguhnya wajah laki-laki tersebut tidak memperlihatkan rona kemarahan sama sekali untuk kepentingan-Ku.'” (HR Ath Thabrani)

Hadis-hadis lai yang memiliki arti serupa ternyata tidak sedikit. Kesemuanya memaksa kita untuk kembali menengok kepada nasib bangsa kita, yang tengah dilanda musibah demi musibah. Barangkali karena telah sirnanya amar ma'ruf dari bumi tercinta?

Mari kita tengok kembali ribuan wanita yang lalu lalang di jalanan, berapakah dari mereka itu yang menutup aurat? Barangkali hanya satu atau dua persen saja. Dari yang membuka aurat itu, berapakah yang masih memiliki malu dengan memelihara adat kesopanan dunia Timur? Justru mereka yang tampil di tengah khalayak ramai, yang menjadi publik figur, yang dijadikan idola di berbagai media, adalah mereka yang semakin berani meninggalkan rasa malunya dalam berbusana!

Patut juga kita membuka mata lebar-lebar di depan layar kaca televisi di kamar kita, berapa banyak acara yang masih terbingkai aturan syariah Islam? Mulai dari kisah film yang dibalut asmara, pergaulan bebas laki perempuan, busana-busana mini dan seksi, hingga suara nyanyian merayu-rayu sang biduanita yang bergoyang penuh birahi.

Terhadap kedua fenomena ini, sudahkah kita berbuat sesuatu? Sudahkah kita memberi peringatan kepada mereka yang terus menerus membuka aurat dan mengumbar nafsu birahinya itu? Sudahkah pula kita berbuat sesuatu memperingatkan, mencegah atau mengingatkan para produsen dan konsumen media cetak serta elektronik agar tidak mengetengahkan hiburan yang menyimpang dari syariah Islam?

Bagaimana pula dengan minuman keras, yang seperti sudah lazim tersedia di hampir setiap warung dan rumah makan? Sudahkah kita memperingatkan mereka? Padahal bahaya khamar ini begitu besarnya, sehingga mendapatkan perhatian serius dalam syariah Islam. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Takutlah kamu kepada khamar, karena sesungguhnya ia adalah kunci segala kejahatan.” (HR Al Hakim)

Bersumber dari Abul Abbas, dari Muhammad bin Abdullah, dari Ibnu Wahab, dan dari Malik bin Azzabadi; Bahwa Malik bin Sa'ad At-Tayyibi pernah bercerita kepadanya bahwa dia mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan; “Sesungguhnya Rasulullah saw pernah didatangi oleh Jibril as lalu berkata: `Wahai Muhammad, Sesungguhnya Allah itu mengutuk khamar, orang yang memerasnya, orang yang menyuruh untuk memerasnya, orang yang mmebawanya, orang yang minta dibawakan kepadanya, orang yang meminumnya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memberinya untuk diminum dan orang yang diberinya lalu diminumnya.”

Cobalah perhatikan betapa banyak orang yang ditimpa laknat oleh Allah swt dan Rasul-Nya berdasarkan minuman yang diharamkan oleh syari'at ini. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib orang-orang yang mendapat laknat dari Allah yang sebenarnya Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya dan laknat dari Rasul yang sebenarnya sangat sayang kepada ummatnya. Betapapun laknat tidak akan menjauh dari orang-orang shaleh yg membiarkan saja kemungkaran yang satu ini sementara mereka sebenarnya sanggup merubahnya.

Dalam kehidupan ekonomi, praktek riba masih digunakan di mana-mana. Hampir-hampir kita tak mampu mengelak dari riba ini, karena prakteknya telah meluas ke segala jenis praktek dagang, hingga barang-barang kecil sekalipun. Dari mulai urusan bank tempat menyimpan uang jutaan dollar, hingga urusan kredit panci ibu-ibu rumah tangga, semua sudah terjerat riba. Mengenai hal ini diterangkan dalam sebuah hadis, “Rasulullah saw melaknati orang yang memakan riba, orang yang mewakilkannya, orang yang menuliskannya dan orang-orang yang menjadi saksinya.” Beliau bersabda “Mereka semua adalah sama.” (HR Muslim)

Lebih jauh, dalam al-Qur'an bahkan Allah telah mengijinkan kita untuk memerangi mereka. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.” (Qs Al Baqarah 279)

Bagaimana pula dengan masa lalu negara dan bangsa kita, dimana praktek korupsi dilakukan oleh sebagian besar pejabat dengan terang-terangan dan tanpa malu-malu? Kala itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan korupsi menjadi hal yang biasa, orang merasa tak ada yang salah dengannya. Dan siapa mau peduli dengan keadaan ini? Semua orang diam, tak ada yang berani mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Semua orang pasrah, dan tak ada lagi amar ma'ruf nahi munkar.

Maka jika kemudian datang azab Allah berupa krisis ekonomi, yang terus merebak menjadi krisis moral, juga krisis politik yang menghancurkan bangsa kita, siapa yang mau disalahkan? Sungguh tak ada yang salah kecuali diri-diri kita sendiri, bukan?


Tidak ada komentar: