05 November 2010

Renungan Jum'at

Dalam kesempatan jum’at kali ini, renungan berwasiat tentang shabar dan semangat berkurban. Wasiat kepada kesabaran adalah tingkatan tertinggi dalam mengamalkan ilmu (Al Islam), sebagaimana difirmankan pada surat ( Al-‘Ashr : 1 – 3 )

Surat tsb mengisyaratkan bahwa kesuksesan dapat diraih melalui 4 tahapan, yaitu (1) beriman kepada Allah dengan benar, (2) membuktikan iman dengan amal perbuatan yang ikhlash (3) berwasiat (menyampaikan) ilmu (al haq), yang telah diyakini dan dibuktikan (4) berwasiat untuk shabar dalam menjalaninya, serta sabar mengatasi gangguan dan kesulitan yang dihadapinya.

Manusia, baik yang beriman maupun yang kafir kepada Allah, dalam perjalanan hidupnya ditakdirkan untuk membawa beban, baik dalam system kemanusiaan maupun system ilahiyah. Sebagai mhs anda telah menanggung beban, yaitu wajib belajar 12 tahun, menyelesaikan pelajaran-2 di SD hingga SMA, dan terus berlanjut hingga kini, anda terus dibebani kewajiban menyelesaikan studi, agar dapat dinyatakan lulus. Demikianpun dengan karyawan, yang menanggung beban harus melaksanakan tugas-2 nya untuk memuaskan penggunanya.

Terkadang beban tersebut berat, tidak enak dan sulit dilaksanakan, tetapi harus diselesaikan. Disinilah peran SABAR. Maka seorang yang cerdas harus mencari upaya-2 optimal, untuk mengatasi kesulitan dan beban berat tersebut. Sabar adalah upaya aktif, cerdas, gigih dan tegar, untuk mengatasi atau mencari solusi bagi kesulitan-2 dan beban-2 hidup yang dihadapi.

Sebagai tamsil (analogi), seorang yang sabar diibaratkan seorang yang terjebak di dalam lembah/jurang yang sangat dalam, pada tebing-2 nya yang terjal terdapat beberapa kesulitan, spt binatang buas, binatang berbisa, batu yang rapuh/licin, dsb. Maka dia akan berfikir cerdas, menghimpun semua pengetahuannya, untuk dapat mendaki klereng jurang, selamat dan lolos dari jebakan mematikan tadi.

Akan tetapi tidak setiap upaya sabar pasti akan menghasilkan keberuntungan langsung saat itu juga. Ada kalanya kita sudah maksimal dalam berdaya upaya, tapi tetap saja gagal. Disinilah kita harus sadar, bahwa kekuasaan mutlak disisi Allah Subhanahu Wa Ta'alaa. Manusia hanya wajib berikhtiar, Allahlah yang menentukan. Kita harus menerimanya, sebagai wujud iman kita kepada taqdir yang telah ditetapkan oleh Allah ubhanahu Wa Ta'alaa. Pahala atau keberuntungan yang dijanjikan Allah terhadap orang yang berikhtiar dan sabar tapi tetap gagal, dan dia menerima dengan senang hati, jauh lebih besar dibandingkan pahala bagi orang yang sabar kemudian berhasil mencapai tujuannya.

Jadi kewajiban kita, orang beriman, adalah bersabar menanggung beban tanggung jawab yang diamanahkan kepada kita, kemudian tentang hasilnya kita pasrah (bertawakkal) kepada Allah ubhanahu Wa Ta'alaa.

Firman Allah ubhanahu Wa Ta'alaa

Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang me-masrahkan dirinya

Setiap manusia dan jin yang sudah dewasa, dibebani oleh Allah untuk beribadah kepadaNYA, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an

“Dan tidaklah AKU jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKU”

Orang yang benar imannya akan bersabar menanggung beban ini, karena pada umumnya hawa nafsu (keinginan) manusia, cenderung mengingkari kewajiban ini. Allah ubhanahu Wa Ta'alaaberfirman:

“ Dan akan Kami uji kalian dengan ketakutan (thd bahaya, bencana, dsb), dan kelaparan, kehilangan harta benda dan kehilangan jiwa, dan berkurangnya buah-buahan, maka berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”.

Orang beriman akan menanggung beban untuk tetap beribadah kepada Allah secara ikhlash, hingga menemui ajalnya. Kemudian akan memetik buah dari kesabarannya di dunia, dengan kenikmatan-2 yang disediakan Allah mulai dari alam qubur, alam mahsyar hingga masuk surge dan kekal di dalamnya. Setelah meninggal seorang beriman tidak perlu sabar lagi, karena tidak ada beban-2 dan kesulitan-2 yang dia alami.

Sebaliknya orang-2 kafir, yang tidak beriman kepada Allah ubhanahu Wa Ta'alaa, di dunia dia tidak mau (bahkan mengingkari) bersabar dalam beribadah kepada Allah secara benar. Maka kematian merupakan awal dari kesabaran panjang tanpa akhir, dia harus menanggung siksa dan adzab mulai dari kuburnya, alam mahsyar, hingga dikekalkan di neraka. Firman Alloh ubhanahu Wa Ta'alaa: ( 2: 175)

“ Mereka itulah membeli kesesatan dengan hidayah, dan membeli adzab dengan ampunan. Alangkah sabarnya mereka dalam api neraka.

Hidup di dunia ini sangat singkat, dalam hitungan akhirat tidak sampai 1/10 hari (karena 1 hari akhirat itu setara dengan 1000 tahun di dunia), oleh karena itu janganlah kita terpedaya, untuk menukar iman kita dengan kekufuran, karena kalau hal itu dilakukan, akan menjadikan penyesalan selama-lamanya ….. na’udzubillahi min dzaalik.

Kemudian wasiat yang kedua adalah tentang semangat ber-qurban. Semangat ber-qurban memiliki 3 makna:

1) Berqurban pada intinya adalah semangat bertauhid, semangat pengabdian dan penyembahan hanya kepada Allah Azza Wajalla. Semangat inilah yang memberi arti pada semua bentuk ibadah dan pengamalan keislaman kita. Tanpa semangat bertauhid, maka semua ibadah dan pengamalan itu menjadi tidak berarti.

Semangat bertauhid ini pula yang menuntut para pengusungnya untuk memutuskan segala rantai dan belenggu kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman, bapak kita Nabiyullah Ibrahim Alaihisshalatu Wassalam yang menjadi contoh/teladan,

“Seseungguhnya telah ada suri tauladan yang yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia: ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ’’Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah ….’’ (QS. Al Mumtahanah: 4)

Tauhid tidak akan terwujud kecuali dengan meninggalkan segala macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah. Dan jika hal itu dapat direalisasikan, maka seperti kata Allah dalam Al Qur’an,

”… Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thogut (segala yang disembah selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi maha Mengetahui.” (QS.Al Baqarah:256)

Kekhawatiran dan kewaspadaan terhadap kesyirikan adalah suatu yang mutlak ada pada diri setiap orang beriman. Karena virus-virus kesyirikan inilah yang paling berbahaya dalam kehidupan seorang anak manusia. Menyadari hal ini, Ibrahim Alaihisshalatu Wassalam, dan sekali lagi Ibrahim, pernah berdoa dan doa itu diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an, firman-Nya,

‘’…dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala’’ (QS. Ibrahim: 35)

Kesyirikan, dalam berbagai bentuk dan ragamnya, harus kita jauhi. Kita tutup segala celah yang bisa mengantar kepadanya. Zaman dahulu berhala (thoghut) dalam bentuk benda mati, namun pada ummat nabi Muhammad SAW, disamping benda mati, juga berupa manusia, yang ingin/berambisi agar orang-2 tunduk dan patuh beribadah kepadanya.

Shahabat ’Adi bin Hatim Rodliallohu 'Anhu, sebelum masuk Islam adalah seorang Nasrani, ketika rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam membacakan ayat :

”Mereka Yahudi dan Nashrani) menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan, selain Allah” (9:31)

Beliau bertanya kritis, ”Wahai rasulullah dulu kami tidak menyembah pendeta kami:, kemudian rasulullah bertanya kepadanya: ”Bukankah jika pendeta itu menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, engkaupun akan mengikutinya ?” maka Adi membenarkannya, kemudian raulullah bersabda ”Ya begitulah yang dinamakan ibadah”

Hak membuat syariat, menentukan halal dan haram adalah mutlak milik Allah, ’ulama hanyalah sebagai penyampai dan pengamal. Tidak ada hak sedikitpun untuk membuat fatwa/ hukum yang menyelisihi hukum Allah (AL Qur’an dan As-sunnah).

2) Semangat ber-qurban juga sejatinya harus menjadi pendorong yang paling kuat untuk semakin dekat dengan Allah Azza Wajalla. Arti kata Qurban sendiri adalah “sesuatu yang mendekatkan”

Untuk semakin dengan dekat dengan Allah Azza Wajalla membutuhkan ‘’pengorbanan’’ akan banyak perkara yang justru hawa nafsu kita cenderung kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

“Al Jannah (surga itu) dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disenangi (hawa nafsu), dan An Naar (neraka itu) dikelilingi oleh syahwat. (HR. Bukhari-Muslim)

Kadang kita harus memilih, antara adat kebiasaan yang bertentangan dengan syari’at Islam dengan ajaran syari’at yang mulia ini. Kadang kita harus memilih, antara pergaulan bebas yang menyenangkan hawa nafsu kita dengan sistem akhlak Islami.

Pilihan itu akan semakin sulit manakala kita tidak memiliki semangat berkorban. Semangat mengorbankan hawa nafsu dan kecenderungan negatif yang mungkin secara lahiriah menyenangkan, namun sesungguhnya, ia adalah kesengsaraan yang sejati.

3) Semangat ber-qurban, juga menjadi semangat pembebasan dari belenggu harta dan materi.

Benar, bahwa harta dan materi perlu dan sebagai penunjang kehidupan kita. Namun, jangan sampai harta dan materi itu menguasai hati dan qolbu kita. Harta dan materi seharusnya tergenggam pada tangan kita, dan bukannya mencengkram dan menguasai hati kita.

Ketahuilah, wahai kaum Muslimin yang berbahagia, bahwa harta sesungguhnya yang kita miliki adalah yang kita ”korbankan” di jalan Allah. Allah masih memberi peluang bagi kita untuk berinfak, memberi sebagian dari apa yang Allah karuniakan pada mereka.

“Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? (Yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian megetahuinya.” (QS. Ash Shaf: 10-11)

Semangat inilah yang menggelora pada jiwa para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Sehingga jika mereka tidak memiliki harta untuk disumbangkan dalam jihad menegakkan dienullah, mereka bersedih hati.

“… mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang bisa mereka infakkan.’’ (QS. At Taubah: 92)

Tidak ada komentar: