22 Oktober 2010

Mungkin Ada Perbedaan Penetapan Idul Adha 1431 H

Kementerian Agama mengakui adanya kemungkinan perbedaan hari merayakan Idul Adha antara ormas Islam tahun ini, namun dengan intensifnya pertemuan antarormas Islam, diharapkan perbedaan itu bisa disatukan."Kami berharap perbedaan metode penetapan tanggal ini bisa disatukan," kata Dirjen Bimas Islam Prof Dr Nasaruddin Umar mengemukakan hal itu kepada wartawan di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Jumat sore.Pihaknya akan menggelar sidang itsbat (penetapan) awal bulan Dzulhijjah 1431 Hijriyah pada 6 November 2010 untuk mengetahui kapan Hari Raya Idul Adha 10 Duzlhijjah."Pada hari itu akan dilakukan rukyatul hilal sekaligus rapat Badan Hisab Rukyat (BHR) penentuan Idul Adha," kata Nasaruddin didampingi Sekretaris Ditjen Bimas Islam Muhaimin Luthfi, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Rohadi Abdul Fatah, Direktur Penerangan Islam Ahmad Djauhari, Direktur Pemberdayaan Zakat Abdul Karim dan Direktur Wakaf Mashudi.
( Jumat, 22 Oktober 2010, 18:59 WIB REPUBLIKA.CO.ID,)

Penentuan Idul Adha Menurut Syara’

Pelaksanaan Idul Adha wajib dilakukan secara serentak dalam hari yang sama oleh segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kewajiban tersebut ditentukan berdasarkan berbagai dalil syar’i, di antaranya:

1. Hadits Rasulullah Shollalohu 'alaihi wasalllam

الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya.” (HR. Tirmidzi dari ‘Aisyah ra).
Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi SAW dengan lafadz berbeda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, Idul fitri adalah saat mereka berbuka, dan Idul Adha adalah saat mereka menyembelih (hewan kurban).”(HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perayaan Idul Adha dilakukan pada saat (jamaah haji) melakukan penyembelihan hewan kurban (berkurban), tanggal 10 Dzulhijah, yaitu sehari setelah mereka wukuf di Arafah, bukan hari yang lain. Dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengatakan:“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkurban itu adalah saat Imam menyembelih kurban.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan).

Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah, dan Idul Adha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Khalifah kaum muslimin, yang berlaku serentak untuk seluruh kaum muslimin di negeri mana pun, baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak, Pakistan, Uzbekistan, atau pun di Indonesia.

2. Hadits yang berasal dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan:

أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah, yakni Al Harits bin Hathib) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah Shollalohu 'alaihi wasalllamberpesan pada kami (para wali Makkah) agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yat. Apabila kami tidak melihat (ru`yat)nya, sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud).Perkataan Amir Mekkah Al Harits bin Hathib “ahida ilainaa Rasulullah saw an nansuka lirru’yah,” (Rasulullah Shollalohu 'alaihi wasalllam. telah berpesan pada kami agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru’yah) dikemukakan dalam kedudukannya sebagai Amir Mekkah. (Ia menduduki jabatan tersebut pada masa kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, dan sesudahnya).

Hal ini berarti bahwa pesan (al ‘ahdu) itu adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir Mekkah. Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah Shollalohu 'alaihi wasalllamtersebut tertuju untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum. Sebab, kata al ‘ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan Rasulullah kepada amir atau wali Mekkah ketika Beliau saw. mengangkatnya sebagai wali di sana.

Dalam Kamus Lisaanul Arab, juz 3 halaman 311, disebutkan: “Dan pesan (al ‘ahdu) adalah suatu yang ditetapkan bagi para wali; al ‘ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari ‘ahida, jamaknya ‘uhuudun. Wa qod ‘ahida ilaihi ‘ahdan (sungguh dia telah menyampaikan pesan kepadanya). Dikatakan pula dalam kitab itu: “‘ahida ilayya fii kadza (dia menyampaikan pesan kepadaku dalam hal anu), artinya adalah aushaani (dia berwasiat kepadaku). Adapun sabda Nabi Shollalohu 'alaihi wasalllam “an nansuka lirru’yah” maksudnya adalah agar kami menyembelih kurban pada yaumun nahar, atau agar kami menunaikan syiar-syiar haji, setelah terbukti adanya ru’yah. Hal ini karena, sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk dalam arti ibdan setiap aktivitas penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi syara’, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun sunnah, telah menggunakannya dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi, kata nusuk memiliki makna syar’i yang relatif berbeda denganmakna lughawi-nya.Wajib Mengikuti Pengumuman Hari Wukuf oleh Penguasa Kota Mekkah.

Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkahlah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.

Maka, tidak diperbolehkan kaum muslimin menjalankan puasa sunat pada hari tatkala jamaah haji tengah melempar jumrah dan menyembelih kurban, karena hari itulah hari Idul Adha. Sebab, berpuasa pada hari itu serta hari tasyriq haram hukumnya. Apa yang akan dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia yang tahun ini berbeda penetapan jatuhnya Idul Adha (sehari lebih lambat) adalah suatu yang batil. Perbedaan waktu di Indonesia dengan di Arafah hanya terpaut sekitar 4 jam saja, tidak sampai 24 jam (1 hari).

Dari paparan di atas jelaslah bahwasanya penetapan Idul Adha ditempuh melalui cara ru`yatul hilal yang yang disahkan oleh Amir Mekkah atau penguasa yang mengelola kota Mekkah. Hal ini juga menunjukkan bahwa jatuhnya hari raya Idul Adha itu harus sama dan serentak di setiap negeri kaum muslimin, mengikuti penetapan jatuhnya Yaumun Nahar (sehari setelah wukuf Arafah) yang dijalankan oleh jamaah haji di tanah suci. Apabila terdapat perbedaan jatuhnya hari Arafah, begitu pula hari raya Idul Adha, dengan yang dilakukan oleh jamaah haji, lalu atas dasar syariat siapa dan argumen apa kaum muslimin di sini merayakan Idul Adha?

Oleh karena itu, kaum muslimin di Indonesia tidak boleh membedakan diri dalam merayakan hari raya Islamnya dari kaum muslimin di negeri-negeri mereka lainnya, seperti halnya seluruh negeri-negeri Islam yang lain mengikuti hari ke-10 bulan Dzulhijjah berdasarkan ru`yat negeri Hijaz sebagai hari raya Idul Adha mereka. Mereka beraklamasi untuk menjalankan Idul Adha berdasarkan satu ru`yat, sama harinya dengan yang dijalankan oleh jamaah haji di tanah suci.

Tidak ada komentar: